Dokter Perempuan Harus Pegang Pasien Pria

Akhwatmuslimah.com – Assalaamu’alaikum. Bapak-bapak ustadz yang dirahmati Allah, pertanyaan ini sebenarnya datang dari istri saya. Istri saya adalah seorang dokter yang bekerja di sebuah puskemas. Ia menanyakan tentang boleh tidaknya menurut syariah ia melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap laki-laki yang meminta surat keterangan berbadan sehat? Jadi yang diperiksa adalah orang sehat, bukan orang sakit. Sesuai standar kedokteran untuk pemeriksaan ini, ia tentu perlu memegang bagian-bagian tubuh dari laki-laki tersebut. Di puskesmas tersebut sebenarnya ada juga dokter laki-lakinya tetapi kadang mereka harus bekerja bergantian. Jazakumulloh khoiran katsiro atas penjelasannya. Wassalaamu’alaikum.

Jawaban:

Assalamu`alaikum Wr. Wb. Dalam fiqih Islam dikenal beberapa kaidah fiqhiyah, terutama terkait dengan masalah kedaruratan.

1. Adh-Dharurat Tubihul Mahzhurat. Kondisi yang darurat bisa membolehkan sesuatu yang pada dasarnya terlarang. Bila disuatu tempat tidak ada dokter wanita yang bisa menolong wanita yang akan melahirkan, maka dokter laki-laki dibolehkan untuk menolong membantu proses kelahiran meski untuk itu ada hal-hal terlarang yang dilanggar seperti melihat aurat wanita non mahram dan bahkan memegang dan menyentuhnya.

2. Ad-Dhururatu Tuqoaddar Bi Qodriha. Namun batasan kebolehan itu tidak berlaku mutlak. Bila tingkat kedaruratannya sudah selesai, maka kembali lagi menjadi haram. Karena kedaruratan itu harus diukur sesuai kadarnya. Setelah selesai menolong persalinan, maka dokter itu tidak boleh melihat lagi aurat wanita itu meski dengan alasan perawatan. Karena perawatan tidak sampai pada derajat kedaruraatan. Contoh kasus lain adalah bila tidak ada dokter laki, maka dokter wanita boleh memeriksa pasien laki-laki karena ketiadaan dokter laki-laki. Dalam hal ini maka ada sebuah kedaruratan yaitu ketiadaan tenaga dokter yang sejenis.

Namun kebolehan memegang pasien yang bukan mahram oleh dokter wanita harus disesuaikan kadar kedaruratannya dan tidak menjadi halal secara mutlak. Misalnya, bila memang masih mungkin menggunakan sarung tangan atau pelapis, maka batas bolehnya adalah dengan menggunakan sarung tangan atau pelapis itu agar tidak langsung terjadi persentuhan kulit. Atau bila masih mungkin memeriksa dengan bertanya kepada pasien dan informasi itu dianggap cukup, maka tidak perlu melihat bagian aurat yang haram dilihat. Dan demikianlah seterusnya. Begitu juga bila masih mungkin diadakan aplusan dan penggiliran jadwal antara dokter laki-laki dan dokter wanita, dimana dokter laki bisa diatur untuk menangani pasien khusus laki dan dokter wanita menangani pasein khusus wanita, maka itulah batasan kebolehannya.

Jadi bila bila tingkat kesulitan suatu masalah itu luas dan longgar (banyak alternatif lain), maka keharamannya menjadi lebih sempit dan lebih ketat. Dan secara otomatis bila masalah itu sempit (tidak ada alternatif lain untuk dilaksanakan) tingkat keharamannya menjadi longgar. Itu adalah kaidah fiqhiyah yang dalam bahasa arabnya berbunyi: `Al-Amru Izat Tasa`a Dhaaqa Wa Izaa Dhaaqa Ittasa`a.

Wallahu A`lam bis-shawab. Wassalamu`alaikum Wr. Wb. (Sumber : syariahonline.com)



Share this post

scroll to top