Mengapa Harus Menjauhi Sikap Ekstrem (Ghuluw) dalam Beragama ?

al-quranAkhwatmuslimah.com – Kita dudukkan dulu apa definisi dari ekstrim dalam beragama. Ekstrem : Menurut etimologis bahasa Arab bermakna berdiri di tepi, jauh dari tengah. Dalam bahasa Arab awalnya digunakan untuk hal yang materil, misalnya dalam berdiri, duduk atau berjalan. Lalu kemudian digunakan juga pada yang abstrak seperti sikap menepi dalam beragama, pikiran atau kelakuan.

DALIL-DALIL SYARIAT YANG MELARANG SIKAP EKSTREM DAN GHULUW:

Islam memerintahkan ummatnya bersikap adil dan moderat sesuai al-Quran dan as-Sunnah : “Demikianlah KAMI jadikan kamu ummat yang adil dan moderat (wasathan) supaya kalian menjadi saksi atas manusia” (QS. Al Baqarah:143).

Dalil-dalil syariat selalu menyeru umat Islam, apalagi para dai dan aktifis Islamnya, kepada sikap adil , moderat , seimbang, dan melarang berlebih-lebihan yang diistilahkan dengan ekstrem dan ghuluw, mempersulit dan memperberat.

Mari kita lihat dalil-dalil berikut ini :

1. Bersabda rasulullah: “Hindarkanlah oleh kalian sikap ekstrem dalam beragama, karena sebenarnya orang-orang sebelum kalian telah sesat karenanya” (HR Ahmad dalam musnadnya, Nasa’i dan Ibnu Majah dalam sunannya).

2. Bersabda Rasulullah : “Binasalah orang-orang yang mutanathi’un! Binasalah orang-orang yang mutanathi’un! Binasalah orang-orang yang mutanathi’un!”

Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim berkata : Al-Mutanathi’un adalah orang yang sok berdalam-dalam ketika membahas suatu permasalahan, sehingga penafsiran dan pendapatnya melampaui batas (Shahih Muslim dari Ibnu Mas’ud).



3. Bersabda Rasulullah : “Janganlah kalian memberat-beratkan suatu permasalahan agama, karena suatu kaum telah memperberat diri mereka sendiri sehingga ALLAH pun memperberat atas mereka” (HR abu Ya’la dlm musnadnya dari Anas bin Malik ra).

4. Rasulullah pernah sangat marah kepada sahabatnya Mu’adz ra ketika Mu’adz menjadi imam bagi orang banyak dan memanjangkan bacaannya sehingga memberatkan para ma’mum dibelakangnya. Sehingga kata Nabi SAW : “Apakah kamu mau menimbulkan bencana hai Mu’adz?!” (HR Bukhari).

5. Nabi pun senantiasa menasihati para sahabatnya saat berangkat untuk menyiarkan Islam dengan sabdanya : “Permudahlah oleh kalian semua dan jangan dipersulit, gembirakanlah mereka dan jangan disusahkan, bersepakatlah dengan mereka dan jangan berselisih.” (HR Bukhari Muslim).

Maka bagaimanakah jika kita menyaksikan sikap nabi kita yang begitu pengasih, begitu lembut dan begitu pemaaf dalam memilih fatwanya kepada orang lain… Sementara ada orang yang mengaku pembela beliau tapi kemudian mengesankan sikap yang kasar dan mencari pendapat yang paling keras dalam bersikap dan berfatwa, dan berargumen bahwa ini termasuk wala’ dan bara’??

TANDA-TANDA EKSTREMITAS DALAM BERAGAMA :

1. Ta’ashub (fanatisme buta),

Yaitu fanatik pada satu pendapat dan menyalahkan pendapat yang berbeda dengannya walaupun pendapat yang lain itu terdapat dalil yang kuat dan shahih.

Hal ini misalnya dengan menuduh fasik dan durhaka kepada orang yang berbeda pendapat dengannya. Yang sangat mengherankan adalah diantara mereka hanya menerima ijtihad bagi dirinya dan kelompoknya dalam masalah-masalah yang sangat pelik dan rumit istinbath hukumnya, tetapi menolak ijtihad para ulama spesialis baik perorangan maupun kelompok untuk berijtihad berbeda dengan pendapat mereka tersebut.
Seolah-olah mereka berkata pada anda : “Hakku untuk berbicara dan berpendapat dan kewajibanmu hanyalah mendengarkan dan taat. Pendapatku benar dan tidak pernah salah sementara pendapatmu salah dan tidak pernah benar.”Naudzubillah..kita berlindung dari sikap ghuluw seperti ini.

Yang lebih berbahaya lagi jika sikap ini diikuti dengan membawa tongkat pemukul, yang bukan terbuat dari besi atau kayu melainkan berupa tuduhan seperti bid’ah , kufur, sesat, dsb. Kita berlindung kepada ALLAH SWT dari yang demikian…

2. Mewajibkan kepada manusia sesuatu yang tidak diwajibkan ALLAH SWT atas mereka.

Tidak ada larangan bagi seseorang untuk mewajibkan untuk dirinya tentang suatu pendapat sepanjang bedasarkan dalil, tetapi syariat tidak dapat menerima jika ia lalu mewajibkannya juga kepada orang lain, karena kemampuan dan keinginan ummat berbeda-beda, bukankah ALLAH SWT berfirman tentang sifat Nabi SAW : “…menghalalkan segala yang baik bagi mereka mengharamkan segala yang buruk, serta membuang beban-beban berat dan melepaskan belenggu yang ada pada diri mereka” (QS al-A’raaf:157).

Contoh dalam hal ini adalah: mewajibkan adanya hukum niqob atau cadar. Ada sebagian akhwat yang mengatakan cadar itu wajib, sehingga dia menganggap muslimah yang sudah berbusana syari tetaplah berdosa jika tidak bercadar.
Ini adalah salah satu sikap ghuluw dalam beragama. Di dalam nash quran maupun sunnah tidak ada satupun dalil yang mewajibkan pemakaian cadar. Dalil tentang pakaian syari bagi muslimah hanyalah surat An nuur 31 dan Al azhab 59 serta beberapa hadist nabi.

Adapun pemakaian cadar jika itu ia wajibkan untuk dirinya sendiri atau anggota jamaahnya maka tak mengapa, tapi jangan sampai hal itu menjadikan sikap ghuluw dengan menyalahkan saudari-saudarinya yang sudah berjilbab lalu dikatakan berdosa karena tidak bercadar.

3. Selalu memperberat saat ada kesempatan untuk memilih.

Seperti memperlakukan negara bukan Islam sebagai negara Islam, atau memperlakukan aturan Islam secara ketat bagi semua kaum muslimin tanpa melihat tingkat keimanan dan pengetahuan mereka tentang Islam. Hendaknya pendekatan fikih dakwah digunakan saat mensikapi dan menyampaikan dakwah, yaitu memusatkan pada hal-hal yang ‘ushul’ (pokok, dasar) dalam agama, dan pendekatan fiqh dakwah ini merupakan ketetapan sunnah Nabi SAW, sebagaimana pesan Nabi saat mengutus Mu’adz untuk berdakwah ke Yaman (HR Bukhari Muslim).

Seperti sikap bersikeras melarang duduk di atas kursi dengan alasan hal tersebut bukan sunnah Nabi SAW, melarang wanita berbicara dalam diskusi karena takut terkena fitnah, melarang menggunakan celana karena merupakan cara orang Barat, mewajibkan memakai gamis dan tidak boleh dengan rok panjang dan baju lengan panjang, dsb.

4. Mudah Memvonis Sesat dan Mengkafirkan.

Padahal ALLAH SWT menyebutkan dalam al-Qur’an : “Serulah manusia kepada jalan RABB-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS an-Nahl:125).

Dalam ayat yang lain disebutkan : “Maka karena rahmat ALLAH kepadamu maka kamu bersikap lemah-lembut kepada mereka, dan jika sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar maka mereka akan lari dari sekelilingmu.” (QS ali-Imran:153).

Bahkan kepada Fir’aun saja untuk dakwah pertamanya ALLAH SWT memerintahkan Musa as untuk bersikap lembut : “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun sesungguhnya ia telah durhaka. Bicaralah kamu berdua kepadanya dengan lembut, mudah-mudahaan ia menjadi ingat dan takut” (QS Thaha:43-44).

Barulah setelah Fir’aun menolak dan mengabaikan dakwah, maka Musa as mendoakan kecelakaan untuknya.

5. Buruk sangka (su’uzhan) kepada para Ulama Islam.

Yaitu memandang mereka (ulama) selalu dengan ‘kacamata hitam’, selalu menyembunyikan kebenaran dan kebaikan mereka dan membesar-besarkan keburukan dan kesalahan mereka. Mereka menganggap kesalahan kecil dalam masalah ijtihad sekalipun sebagai sebuah dosa besar dan menabuh genderang perang terhadap pelakunya.

Jika ada sebuah fatwa yg mengandung 2 kemungkinan yaitu kebaikan dan keburukan, maka mereka serta-merta mengambil sisi buruknya, hal ini sangat berbeda dengan sikap salafus-shalih yang selalu berkata : “Sungguh aku selalu mencarikan alasan pembenaran bagi pendapat saudaraku sampai 70 kali, setelah itu akupun masih berkata : Mungkin masih ada alasan lain yang blm kuketahui..”

Rasulullah bersabda : “Jika kalian mendengar seorang menyatakan : Manusia lainnya telah celaka, maka orang itulah yang paling celaka diantara mereka.” (HR Muslim)

6. Bahaya pengkafiran.

Akumulasi dari sikap ghuluw dan ekstremitas dalam beragama mencapai puncaknya jika seorang sudah bermain dengan label pengkafiran. Sikap inilah yang telah membinasakan kaum Khawarij, sekalipun mereka adalah kaum plaling hebat dalam pelaksanaan berbagai ibadah dalam sejarah Islam, tetapi mereka celaka karena telah terjerumus kepada jurang pengkafiran kepada ummat Islam yang lain bahkan pada para ulama ummat seperti khalifah Ali ra.

Kelompok ini karena kerendahan ilmunya tidak mengetahui bagaimana kemarahan Rasul SAW yang luar biasa terhadap anak dari  anak angkatnya yang paling disayanginya yaitu Usamah bin Zaid ra, ketika mendengar Usamah membunuh seorang kafir yang telah mengucapkan syahadah saat terdesak dalam peperangan.

Walaupun Usamah telah memberikan argumentasi : “Wahai Rasulullah ia hanya mengucapkan itu karena takut dengan pedang.”
Maka jawab Nabi SAW : “Mengapa tidak engkau belah dadanya (jika memang engkau mengetahui isi hatinya)?” ,
Maka jawab Usamah ra : “Ya RasuluLLAH, mohonkan ampun bagi saya.”
Maka jawab Nabi SAW : “Apakah yang akan engkau perbuat jika nanti di hari Kiamat berhadapan dengan Laa ilaha illaLLAH??”
Selanjutnya kata Usamah ra : “Tidak henti-hentnya Nabi SAW mengulang-ulang pertanyaannya itu, sampai aku menginginkan alangkah inginnya jika saat itu aku baru masuk Islam karena takutnya.”

Walillahihamdu wal minah…Wallahua’lam bishowab.

Share this post

scroll to top