Bila Si Buah Hati Tak Kunjung Hadir

Ilustrasi

Ilustrasi

Akhwatmuslimah.com – Dikarunia anak atau pun tidak seorang hamba merupakan ketentuan Allah SWT. Ada dua orang sahabat yang sudah 12 tahun lamanya tidak bertemu. Jarak dan waktulah yang memisahkan mereka. Dengan takdir Allah, akhirnya mereka bertemu di kereta api dalam perjalanan menuju sebuah kota. Mereka saling berpelukan dan meluapkan kerinduan dengan saling bertukar cerita. Tema pembicaraannya melompat-lompat, dari tema yang satu ke tema yang lain. Namun, seperti umumnya, yang ditanyakan pertamakali adalah: tinggal di mana sekarang, bekerja di mana, sudah berkeluarga, dan sudah punya anak berapa?

Lalu salah satu dari mereka, sebut saja Furqan misalnya, memulai bercerita, bahwa ia sudah dikaruniai dua anak, si sulung laki-laki dan si bungsu perempuan. Ketika ia bertanya sebaliknya, raut muka sahabatnya, katakanlah Budi, langsung berubah. Tampak ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Ternyata, sejak menikah 10 tahun silam Budi belum dikaruniai anak. Saat itulah ia menceritakan kisahnya dalam mengarungi kehidupan rumah tangganya kepada Furqan.

“Semoga apa yang aku ceritakan ini menjadi ibrah (pelajaran) bagi siapa saja yang mengalami ujian seperti aku ini. Dan bersyukur bagi siapa saja yang dikaruniai amanah si buah hati. Semoga Allah menjadikan aku dan istriku termasuk orang-orang yang sabar,” kata Budi.

“Amiin,” spontan Furqan mengaminkan harapan sahabatnya itu.
Lalu, Budi melanjutkan kisahnya.

“Sejak awal ditawari untuk menikah, aku berusaha tidak menolak perempuan calon istriku. Maka dengan takdir Allah Ta’ala aku pun mendapatkan pasangan yang menurutku agamanya baik,” ujarnya.

Hari-hari pertama pernikahan dengan perempuan yang tidak dikenalnya itu, membuat Budi salah tingkah. Namun, akhirnya mereka mencoba untuk mengenal, memahami, dan berusaha menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang. Selanjutnya memupuk tali kasih itu agar tumbuh dan berkembang.
“Segala puji hanya untuk Allah. Aku dan istriku mengarungi bahtera rumah tangga nyaris tidak ada gelombang. Namun wajar, kalau ada sedikit riak yang senantiasa menyertainya. Justru di situlah kami belajar saling menguatkan dan memperbaiki segala kekurangan,” kata Budi.
Menurut Budi, istrinya bukan saja termasuk wanita yang penyabar, tapi juga romantis. Istrinya mempunyai cita-cita yang tinggi untuk kebaikan dakwah Islam. Istrinya juga mampu mendorong semangat dakwahnya yang kadang mulai mengendur.

Waktu terus berputar. Hari demi hari, bulan, dan tahun berganti. Sepuluh tahun sudah usia pernikahan mereka. Pasangan suami-istri itu tidak berdiam diri. Mereka terus berikhtiar dengan segala daya dan upaya. Tapi bertahun-tahun sudah mereka lewati, si buah hati tak kunjung hadir juga. Namun, mereka pun tidak berputus asa. Apalagi pemeriksaan dokter telah membuktikan bahwa Budi dan istrinya sehat-sehat saja.
“Kami masih memiliki harapan. Kalaupun tidak kunjung datang, ini adalah sebuah takdir. Kami tidak boleh berburuk sangka kepada-Nya. Barangkali Yang Mahakuasa belum memberi amanah kepada kami,” ujarnya.

Furqan terkesiap mendengar kisah sahabatnya. Ia tak menyangka ujian dari Allah yang sedang dialami sahabatnya itu dan bagaimana kebesaran jiwanya saat menghadapi semuanya.
“Aku berusaha memahami dan merasakan kecemasan hati seorang perempuan. Aku semakin sadar atas segala keterbatasan sebagai makhluk yang lemah. Entah sampai kapan. Waktu yang telah mengajari aku dan istriku tetap bersatu dalam kasih dan sayang-Nya,” ujar Budi dengan wajah menerawang penuh kepasrahan.

Furqan termenung dan bergumam dalam hatinya, “Sungguh, kalau bukan karena cinta, sabar, dan keikhlasannya, biduk rumah tangga Budi sudah berhenti. Cintalah yang membuat mereka masih bertahan. Keikhlasanlah yang mereka masih tanamkan dalam hatinya. Dan kesabaranlah yang mengajarkannya mereka untuk menghapus kata putus asa dalam hidupnya.”

Kehadiran seorang anak dalam sebuah rumah tangga merupakan dambaan. Bahkan, bisa dikatakan terwujudnya kebahagiaan yang sempurna suatu keluarga jika ada celoteh anak-anak di dalamnya.
Tetapi, banyak pula pasangan yang tidak kunjung memiliki anak seperti Budi. Umumnya, bila sang buah hati yang dinanti tak kunjung hadir, seringkali yang muncul adalah konflik rumah tangga yang berkepanjangan.
Konflik tersebut biasanya muncul karena tekanan dan pasangan yang saling menyalahkan. Bisa juga berasal dari lingkungan yang kurang berempati.

Menghadirkan seorang anak dalam rumah tangga bukanlah kuasa suami ataupun istri. Tetapi Sang Penciptalah yang berkuasa menentukan pasangan mana yang akan diberi amanah, dan pasangan mana yang ditahan beberapa waktu. Bahkan, sama sekali tidak diberi kesempatan.
Tentu pilihan ada pada masing-masing pasangan, apakah akan menjalani biduk rumah tangganya dengan saling menyalahkan, atau saling memahami dan memotivasi?

Kisah Budi tersebut dapat menjadi pembelajaran. Kesabaran, pengertian, serta saling mendukung antara pasangan mampu meredam semua pertanyaan menggelisahkan tentang momongan dari pihak keluarga ataupun lingkungan. Mereka menghadapinya dengan senyum dan permintaan dukungan doa.

Teladan Kesabaran
Budi dan istrinya yakin dengan apa yang telah dilakukannya yaitu sabar, ikhlas, dan senantiasa berikhtiar akan mengundang cinta-Nya. Sebagaimana firman Allah: ”Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran [3]: 146)
Allah Ta’ala telah memberi contoh keteladanan dalam hal ini. Dalam sebuah riwayat, Nabi Zakariya baru dikaruniai anak setelah berusia 120 tahun sedangkan istrinya berusia 98 tahun.
Bahkan, Allah pula telah mengabadikan doanya di dalam al-Qur`an surah Maryam [19] ayat 4-6.
“Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku. Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu, yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.”

Jadi, mempunyai anak atau tidak itu sepenuhnya adalah pilihan Allah Ta’ala, yang menggenggam setiap jiwa. Namun, menjalani pernikahan dengan bahagia atau tidak bahagia adalah sepenuhnya pilihan setiap pasangan.

(Sumber : Ida. S Widayanti, Penulis buku Catatan Parenting: Belajar Bahagia, Bahagia Belajar. SUARA HIDAYATULLAH NOPEMBER 2012)

Share this post

scroll to top