Salahkah Ucapan “Subhaanallah” Ketika Kagum/Takjub?

Ilustrasi. (theblater.wordpress.com)

Ilustrasi. (theblater.wordpress.com)

Akhwatmuslimah.com – Beberapa tulisan di dunia maya menyebutkan kelirunya ungkapan “subhaanallah” ketika seseorang takjub atau kagum terhadap sesuatu. Pernyataan yang benar, insya Allah, bahwa salah satu ungkapan yang dilirihkan seorang muslim ketika takjub atau kagum terhadap sesuatu adalah ungkapan ‘subhaanallah’.

Berikut beberapa dalilnya,

Dalil pertama

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau (سبحانك), maka peliharalah kami dari siksa neraka”” (QS. Ali Imraan: 190-191)

Segi pendalilan dalam ayat ini adalah terdapat tanda-tanda kebesaran Allah dalam penciptaan langit dan bumi beserta hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan di dalamnya. Lisan orang yang berakal menyenandungkan tasbih kepada Allah ketika melihat dan memikirkan tentang segala sesuatu yang Allah ciptakan[1].

Mereka berkata, seperti dalam ayat di atas: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau (سبحانك), maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Tentang ayat ini, Dr Muhammad ibn Ishaq berkata dalam kitabnya yang berjudul at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah: “Dalam ayat ini terdapat seruan kepada kamu muslimin untuk merenungi penciptaan dan bertasbih kepada Allah ketika takjub yang menandakan kebesaran dan keagungan Allah dan bahwasanya hanya Dialah illah yang berhak diibadahi dengan benar”[2].

Dalil kedua

Allah membuka surat Al-Israa’ dengan ungkapan tasbih:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ



Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Al-Israa’: 1).

Ayat yang mengagumkan ini mengandung sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh siapapun kecuali Allah semata. Oleh sebab itu Allah membuka surat al-Israa’ dengan tasbih sebagai sebagai bentuk takjub terhadap mu’jizat yang menandakan kebesaran dan keagungan-Nya, kebenaran kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta kedudukan beliau yang tingga di sisi Allah [3].

Sebagian ulama berkata: “ungkapan ‘subhaana (سبحان)’ dalam ayat di atas adalah untuk ta’ajjub (takjub/kagum)”[4].

Kesimpulan

1. Masih banyak nash yang lain mengindikasikan bahwa ungkapan “subhanallah” juga digunakan sebagai bentuk ta’ajjub. Begitu pula ungkapan para ulama dalam tema ini.

2. Tidak tepat jika menyalahkan orang yang mengungkapkan “subhanallah” ketika takjub/kagum.

3. Penggunaan ungkapan “subhanallah” digunakan atau diungkapkan pada banyak kondisi seperti penyucian terhadap Allah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang tidak disenangi, kesalahan aqidah, ta’ajjub dan kondisi lain yang disebutkan para ulama.

4. Kami sangat menyarankan untuk membaca kitab at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah wa ar-Raddu ‘ala Mafaahim al-Khathi’ah Fiyhi yang dikarang oleh Dr. Muhammad ibn Ishaq diterbitkan oleh Maktabah Daar al-Minhaaj, Riyadh. Kitab ini terdiri dari 2 jilid tebal mengulas panjang lebar tentang tasbih. Catatan sederhana ini banyak mengambil faidah dari kitab tersebut jilid 2.

Subhaanaka allahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illaa anta asytaghfiruka wa atuubu ilaika.

 

Direvisi kembali kamis sore, Asrama LIPIA Jakarta, 24 Muharram 1435 H

Catatan Kaki

[1]  Lihat kitab at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah oleh Dr Muhammad ibn Ishaq, hal 32, jilid 2.[2] Ibid, hal 33.[3] Lihat kitab at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah, hal 33, jilid 2[4] Lihat kitab al-Hujjah fiy Bayaani al-Muhajjah wa Syarhi ‘Aqiidati ‘Ahli as-Sunnah 1/511. Kami kutip dari kitab at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah, hal 33, jilid 2

Referensi
  1. Al-Qur-an digital dan terjemahannya
  2. at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah wa ar-Raddu ‘ala Mafaahim al-Khathi’ah Fiyhi oleh Dr. Muhammad ibn Ishaq, jilid 2, diterbitkan oleh Maktabah Daar al-Minhaaj, Riyadh.

Penulis: Fachriy Aboe Syazwiena

Sumber : muslim.or.id

Share this post

scroll to top