Cemburu yang Tidak Membakar…

Akhwatmuslimah.com – “Aku cemburu!” Perempuan muda itu mengeloyor keluar. Dia tidak tahan lagi tuk bilang pada suaminya kalau selama ini dia sangat cemburu. Suaminya yang seorang perlente, memiliki banyak teman wanita. Di antaranya ada yang sangat akrab. Hatinya perih dan serasa terbakar. Karena melihat keakraban yang sudah sangat tidak wajar.

Yah, memang mudah bagi wanita untuk mencintai, tetapi akan sangat susah bagi mereka untuk mengelola rasa cemburu. Apalagi sang suami adalah sosok yang layak dicemburui. Punya banyak pesona dan banyak sisi menarik yang bisa membuat perempuan terpana.

Ada yang menyatakan kecemburuannya dengan terang terangan. Menyatakan secara verbal kalau dia cemburu. Tapi ada pula yang menyatakan kecemburuan dengan memasang wajah kusam, cemberut dan ngeloyor pergi bila diajak ngobrol atau berbincang-bincang.

Hak istri untuk cemburu. Karena prinsipnya dia tidak mau apa yang menjadi miliknya menjadi milik orang lain. Atau apa yang dia cintai diganggu oleh orang lain. Ia hanya ingin suaminya menjadi haknya seorang diri, tanpa siapapun yang menyampuri.

Ilustrasi. (Foto : millenmayo.blogspot.com)

Ilustrasi. (Foto : millenmayo.blogspot.com)

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha si wanita, namun wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut. Namun, bila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela. Bila seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berzina, mengurangi haknya, atau berbuat zalim dengan mengutamakan madunya (yaitu istri yang lain, bila si suami memiliki lebih dari satu istri), kata al-Hafizh, cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).

Dengan syarat, hal ini pasti dan ada bukti (tidak sekadar tuduhan dan kecurigaan). Bila cemburu itu hanya didasari sangkaan, tanpa bukti, maka tidak diperkenankan. Adapun bila si suami seorang yang adil dan telah menunaikan hak masing-masing istrinya, tapi masih tersulut juga kecemburuan maka ada udzur bagi para istri tersebut (yakni dibolehkan) bila cemburunya sebatas tabiat wanita yang tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang diharamkan baik berupa ucapan ataupun perbuatan. (Fathul Bari, 9/393)

Keluarga Nabi SAW juga pernah merasakan ini. Dari Aisyah, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam keluar dari rumahnya pada suatu malam. Aisyah menuturkan,

“Maka akupun menjadi cemburu kepada beliau sekiranya beliau mendatangi istri yang lain. Kemudian beliau kembali lagi dan melihat apa yang terjadi pada diriku.” 



Apakah engkau sedang cemburu?” tanya beliau.

”Apakah orang semacam aku ini tidak layak cemburu terhadap orang seperti engkau ?”

“Rupanya syetan telah datang kepadamu”, sabda beliau

”Apakah ada syetan besertaku?’ tanyaku

“Tak seorangpun melainkan bersamanya ada syetan” jawab beliau.

”Besertamu pula?” tanyaku.

“Ya, hanya saja Allah menolongku untuk mengalahkannya sehingga aku selamat”, jawab beliau.

(ditakrij Muslim dan Nasa’i)

Menarik ya kalau membaca hal seperti ini. Bahwa di antara Nabi SAW dan istrinya juga ada sisi-sisi manusiawi yang sangat indah untuk kita baca dan kita telaah. Bisa jadi setelah membaca hadist itu para istri juga akan mengatakan hal sama kepada suaminya.

“Abi, apakah aku tidak layak cemburu pada sosok seperti kamu?”

Wah pasti bakalan meleleh hati para suami dengan perkataan istri semacam itu.

Tetapi persoalannya sangat jauh berbeda. Kecemburuan antara Ibunda Aisyah dengan Rasulullah adalah karena cemburu pada istri Rasul yang lain, bukan kepada wanita ajnabi. Sedangkan kecemburuan yang ada di masyarakat kita lebih banyak karena wanita ajnabi. Pergaulan yang terlalu dekat dan hubungan kerja yang relatif akrab.

Dari Aisyah, dia berkata,

“Aku tidak pernah melihat orang yang pandai masak seperti halnya Shafiyah. Suatu hari dia membuatkan makanan bagi Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, yang ketika itu beliau di rumahku.Seketika itu badanku gemetar karena rasa cemburu yang menggelegak. Lalu aku memecahkan bejana Shafiyah. Akupun menjadi menyesal sendiri. Aku berkata,”Wahai Rasulullah, apa tebusan atas apa yang aku lakukan ini?” Beliau menjawab, “bejana harus diganti dengan bejana yang sama, makanan harus diganti dengan makanan yang sama” (ditakrij Abu Daud dan An-Nasa’i)

Sedangkan dalam riwayat lain dari Anas bin Malikk radhiyallahu anhu, dia menceritakan,

Nabi shalallahu alaihi wassalam pernah berada di sisi salah seorang istrinya. Kemudian seorang dari ummul mukminin mengirimkan satu mangkuk makanan. Lalu istri Nabi yang berada dirumahnya memukul tangan Rasulullah sehingga mangkuk itu jatuh dan pecah. Maka Nabi pun mengambil dan mengumpulkan makanan di dalamnya. Beliau berkata:”Ibumu cemburu, makanlah.” Maka merekapun segera memakannya. Sehingga beliau memberikan mangkuk yang masih utuh dari istri dimana beliau berada, dan meninggalkan mangkuk yang telah pecah tersebut di rumah istri yang memecahkannya. (HR. Bukhari, Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits senada di atas dengan beberapa tambahan, yaitu di dalam Ash-Shahih, dari hadits Humaid dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata,

” Ada diantara istri Nabi shalallahu alaihi wassalam yang menghadiahkan semangkuk roti dicampur kuah kepada beliau, selagi beliau berada di rumah istri beliau yang lain (Aisyah). Aisyah menepis tangan pembantu yang membawa mangkuk, sehingga mangkuk itu pun jatuh dan pecah. Nabi Shalallahu alaihi wassalam langsung memunguti roti itu dan meletakkan kembali diatas mangkuk, seraya berkata, “makanlah. Ibu kalian sedang cemburu.” setelah itu beliau menunggu mangkuk pengganti dan memberikan mangkuk yang pecah itu kepada Aisyah”. (diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i).

Begitupula kecemburuan Aisyah terhadap Shafiyah. Tatkala Rasulullah tiba di Madinah bersama Shafiyah yang telah dinikahinya, dan beliau berbulan madu bersamanya di tengah jalan, maka Aisyah berkata,

“Aku menyamar lalu keluar untuk melihat. Namun beliau mengenaliku. Beliau hendak menghampiriku, namun aku berbalik dan mempercepat langkah kaki. Namun beliau dapat menyusul lalu merengkuhku, seraya bertanya,”Bagaimana pendapatmu tentang dia?” Aku menjawab, “Dia adalah wanita Yahudi di tengah para wanita yang menjadi tawanan” (ditakrij Ibnu Majah).

Aisyah Radhiyallahu anha pernah berkata,

“Aku tidak pernah cemburu terhadap wanita seperti kecemburuanku terhadap Khadijah, karena Nabi Shalallahu alaihi wassalam seringkali menyebut namanya. Suatu hari beliau juga menyebut namanya, lalu aku berkata, “Apa yang engkau lakukan terhadap wanita tua yang merah kedua sudut mulutnya? Padahal Allah telah memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadamu”. Beliau bersabda, “Demi Allah, Allah tidak memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadaku” (Diriwayatkan Bukhari).

Cemburu Sebagai Tanda Cinta

Manakala api cemburu sudah menyala, maka sebaiknya masing masing pasangan punya trik untuk memadamkannya. Sapaan yang hangat, dan obrolan yang nikmat bisa memecah kebekuan yang ada. Sampaikan alasan kenapa cemburu, apa yang membuat cemburu dan kenapa harus cemburu. Di sisi lain sang suami atau istri memberi pemahaman yang benar, menyakinkan bahwa semua baik baik saja tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Karena cemburu adalah tanda cinta dan takut kehilangan, maka seorang suami harus memahami soal ini. Jangan balas kecemburuan dengan sesuatu yang menakutkan, misalnya memaki maki istri atau memarahinya. Mereka berhak untuk takut kehilangan, karena meski anda bukan sosok sempurna, tetapi anda teramat istimewa di hatinya. [ ]

====

Sumber : Burhan Sodiq. S.S

Share this post

scroll to top