Gaji Bukan Ukuran Kekayaan

(Foto : personal.keuanganusaha.com)

(Foto : personal.keuanganusaha.com)

Akhwatmuslimah.com – Berapa pun gaji yang diberikan perusahaan kepada Anda, tidak menjamin apakah bisa merasa cukup dan kaya. Jika penghasilan saat ini Rp2 juta per bulan, mungkin terpikir bahwa keuangan Anda akan lebih baik, merasa cukup, atau kaya apabila perusahaan memberikan gaji Rp5 juta per bulan?

Belum tentu. Lho, kok gitu?

Kesalahpahaman yang selama ini terjadi di masyarakat. Bahkan, kesalahpahaman ini dimotivasi baik melalui seminar, workshop, buku, dll. Bahkan sudah menjadi kesepakatan umum bahwa kalau ingin kaya penghasilan harus tinggi bukan cukup. Kesalahan terbesar dalam pola pikir kita adalah menyamakan kata “kaya” dengan “penghasilan tinggi”.

Masalahnya, dari pengalaman saya menangani klien, sering kali “penghasilan tinggi” tidak menjamin seseorang merasa kaya atau cukup. Ada banyak orang yang punya penghasilan tinggi, sebut saja di atas Rp5-10 juta, atau bahkan lebih tinggi lagi, tapi karena dia tidak bisa mengelola uangnya (entah karena boros atau karena tidak pintar mengelola dan tidak tahu rambu-rambunya), dia tidak juga merasa cukup. Sebaliknya, kita sering melihat ada banyak orang yang penghasilannya terbatas, tapi karena dia pintar mengelola, dia bisa merasakan kehidupannya makmur. Kaya secara lahir dan juga batin (puas).

Nah, apakah saat ini Anda mengalami:

1. Mendapatkan uang tapi mudah pula menghabiskannya?

2. Kesulitan untuk mengatur cash flow (arus kas/utang piutang/aset, dll).

3. Mengalami masalah tagihan-tagihan.



4. Kurang memahami setiap penawaran keuangan (produk investasi maupun cicilan).

5. Di mana posisi keuangan Anda saat ini? (Tidak dapat memberikan gambaran kekayaan bersih atau posisi aset-aset yang dimiliki.)

6. Apakah Anda mengetahui berapa lama lagi Anda harus terus bekerja untuk menyimpan aset, atau berapa banyak uang yang sudah dihasilkan agar bisa memetik hasilnya (pensiun)?

7. Kesulitan untuk berinvestasi syariah? Dll.

Jika ingin mendapatkan jawaban dari masalah-masalah tersebut, saatnya Anda belajar manajemen keuangan. Manajemen dapat diartikan pula mengolah sumber daya yang ada (potensi) dengan proses perencanaan-pengorganisasian-pengaktualisasian-pengevaluasian (P-O-A-C) atau lebih sederhana dengan perencanaan-pelaksanaan-pengevaluasian (Plan-Do-Check) untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Perencanaan Keuangan adalah istilah umum untuk Manajemen Keuangan Pribadi & Keluarga (Personal & Family Financial Planning). Perencanaan sudah dianggap mewakili sebuah proses manajemen, karena langkah awal ini akan memicu proses berikutnya sehingga terbentuk sebuah siklus manajemen. Perencanaan akan melakukan adaptasi sesuai hasil pengevaluasian yang dilakukan. Ada pepatah bijak yang menyatakan bahwa ketika kita gagal dalam merencanakan berarti merencanakan kegagalan atau dengan kata lain ketika kita tidak merencanakan apa pun untuk apa yang akan dilakukan, berarti kita telah merencanakan kegagalan.

Merencanakan keuangan (harta), menjadi sangat penting sebagai aspek utama dalam kehidupan ini, Imam Fakhruddin ar-Razy rahimahullah berkata, “Harta (al-maalu) disebut harta (maal) karena setiap orang banyak condong dan cenderung kepadanya. Cenderung dalam bahasa Arabnya adalah mailun, berasal kata: Maala, Yamiilu, maa’ilun, dan maalun. Karena itulah secara tabiat harta disukai manusia. Penyebabnya adalah kesempurnaan, harta merupakan sebab menggapai penyempurnaan kemampuan hak manusia. Banyak harta akan mendatangkan kekuatan dan kesempurnaan kemampuan manusia. Bertambahnya harta mengakibatkan semakin bertambahnya kemampuan seorang manusia.”

Untuk itulah, tata kelola harta ini menjadi perhatian terbesar manusia, bukan saja mengatasi kesempitan, namun juga dapat mendapatkan apa yang diharapkan dari harta tersebut, terlebih sebagai seorang muslim diharapkan menjadi sebuah amal kebaikan dengan mengikuti tuntunan Al-Qur’an dan Hadits sebagai rujukan utama.

Apakah ada tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang membimbing manusia untuk mengatur keuangannya? Tentu saja ada. Bahkan berdasarkan hukum syariat, agar upaya kita dinilai ibadah (sesuai sunah atau mengikuti petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya), harus mengikuti nash-nash yang telah ada. Bagi seorang muslim mengikuti petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya bukan hanya sebagai panduan hidup, namun meyakini bernilai pahala.

Islam tidak membenci harta, namun mewaspadai keburukan perilaku manusia terhadap harta, seperti firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Isra ayat 26-27, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan dan syaithan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” Diperkuat dengan surat Al-Furqon ayat 67, ”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

Penegasan ini menyiratkan bahwa seorang muslim harus pandai mengelola uang (harta) atau cerdas finansial. Dengan demikian secara tegas dapat dikatakan Islam sebagai penggerak perencanaan keuangan. Mengapa? Betapa tidak, Al-Qur’an yang diturunkan 14 abad lalu, melalui ayat-ayatnya telah menegaskan pentingnya merencanakan keuangan, agar bisa membelanjakan harta di tengah-tengah antara keduanya (tidak berlebihan/boros dan kikir).

Check Up 3 Sepertiga

Sebelum membahas pengaturan keuangan secara rinci, sebaiknya dipahami dulu awal harta (uang) itu didapat. Karena uang di tangan seorang muslim, bukan saja dituntut pertanggungjawaban cara membelanjakannya, namun juga dimulai dari cara mendapatkan. Bahkan lebih tegas lagi pentingnya bagi seorang muslim, merujuk pada hadits, “Tidaklah bergeser telapak kaki bani Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang lima perkara; umurnya untuk apa ia gunakan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan apa yang ia perbuat dengan ilmu-ilmu yang terlah ia ketahui“. (HR. At-Tirmidzi no.2416 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Al bani di dalam Ash Shahihah no. 947)

Para ulama sepakat mengategorikan mencari harta kekayaan (uang) juga memenuhi kaidah fiqh dalam 5 hukum taklif, yaitu; wajib, mustahabb (sunah), mubah, makruh, dan haram.

Bekerja bagi seorang muslim akan menjadi wajib ketika ia memiliki tanggungan minimal untuk dirinya sendiri (nafkah), terlebih jika memiliki keluarga seperti disebutkan dalam Al-Qur’an Surat (QS) Al-Baqarah ayat 233, dan mencari uang juga menjadi wajib ketika memiliki kewajiban terhadap hak orang lain (utang piutang, ikut serta membayar denda/diat, atau membayar ganti rugi lainnya).

Ukuran nafkah (dirinya dan keluarga inti) lebih disandarkan pada kebutuhan untuk menopang hidupnya saja, karena akan berubah menjadi sunah ketika telah mencapai standar kecukupan, namun berniat menolong fakir miskin, anak yatim, janda-janda miskin, atau nafkah untuk menanggung kerabat-kerabatnya yang sebetulnya bukan tanggungan dirinya, dengan harapan dapat memelihara silaturahmi.

Pendapat ulama Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (bersandar pada QS. Al-Baqarah ayat 215) menyatakan bahwa selain kedua orangtua dari keluarga (bagi yang sudah menikah) dan kerabat yang merupakan mahram, bukanlah kewajiban seseorang untuk menafkahi mereka.

Hukum mencari harta kekayaan berubah menjadi mubah bila sudah memenuhi kebutuhan pokok, akan tetapi masih ingin mencari yang lebih untuk kesenangan dan kenyamanan dirinya beserta orang yang ditanggungnya dalam hal kelezatan makanan, minuman, tempat tinggal, dan perkara-perkara mubah lainnya.

Baru berubah menjadi makruh bila usaha mencarinya tersebut menyebabkan seseorang meninggalkan ibadah-ibadah sunah, terjerumusnya dalam perkara-perkara makruh. Bahkan menjadi haram bila cara mencapai/mendapatkannya haram, atau menyebabkan lalai atas kewajiban-kewajiban sebagai seorang muslim (shalat, shaum wajib, zakat, haji, dll), atau hasil yang digunakan untuk yang haram.

Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir, berkata, ”Mencari uang (harta) bisa jadi terpuji bila ditunaikan karena suatu kewajiban, sunah, atau mubah. Namun, bisa juga menjadi tercela dilakukan (makruh dan haram).”

Untuk itulah, agar bekerja dapat bernilai ibadah, bekerja harus sesuai dengan syariat (1) Al-Qur’an (firman Allah), (2) As-Sunah/Al-Hadits (Rasul-Nya), (3) Ijtihad/fatwa/pendapat salafushalih (orang-orang mukmin). Hal ini senada dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 105, ”Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah (1) dan Rasul-Nya (2) serta orang-orang mukmin (3) akan melihat pekerjaanmu itu,

Untuk itu, Rasulullah saw. memberikan kiat praktis mengatur keuangan agar bernilai ibadah (nyunah). Dari Abu Abdillah (ada yang mengatakan namanya itu ialah Abu Abdirrahman) yaitu Tsauban bin Bujdud, katanya: “Rasulullah saw. bersabda: “Seutama-utama dinar yang dinafkahkan oleh seseorang lelaki ialah dinar yang dinafkahkan kepada keluarganya (1), dan juga dinar yang dinafkahkan kepada kendaraannya untuk berjuang fi-sabilillah (2) dan pula yang dinafkahkan kepada sahabat-sahabatnya untuk berjuang fisabilillah juga (3)” (HR. Muslim)

(1) Untuk konsumsi

(2) Untuk modal kerja

(3) Untuk charity/ sedekah (kepentingan umum fisabilillah)

Hadits tersebut sejalan dengan Shahih Muslim yang dimasukkan dalam kitab Riyadushalihin Bab 60 tentang Kedermawanan oleh Imam Nawawi, dari Abu Hurairah ra. pula dari Nabi saw., sabdanya: “Pada suatu ketika ada seorang lelaki berjalan di suatu tanah lapang—yang tidak berair, lalu ia mendengar suatu suara dalam awan: “Siramlah kebun si Fulan itu!” Kemudian menyingkirlah awan itu menuju ke tempat yang ditunjukkan, lalu menghabiskan airnya di atas tanah lapang berbatu hitam itu. Tiba-tiba sesuatu aliran air dari sekian banyak aliran airnya itu mengambil air hujan itu seluruhnya, kemudian orang tadi mengikuti aliran air tersebut. Sekonyong-konyong tampaklah olehnya seorang lelaki yang berdiri di kebunnya mengalirkan air itu dengan alat keruknya. Orang itu bertanya kepada pemilik kebun: “Hai hamba Allah, siapakah nama Anda?” Ia menjawab: “Namaku Fulan,” dan nama ini cocok dengan nama yang didengar olehnya di awan tadi. Pemilik kebun bertanya: “Mengapa Anda tanya nama saya?” Orang itu menjawab: “Sesungguhnya saya tadi mendengar suatu suara di awan yang inilah air yang turun daripadanya. Suara itu berkata: “Siramlah kebun si Fulan itu! Nama itu sesuai benar dengan nama Anda. Sebenarnya apakah yang Anda lakukan?” Pemilik kebun menjawab: “Ada pun Anda menanyakan semacam ini, karena sesungguhnya saya selalu melihat—memperhatikan benar-benar—jumlah hasil yang keluar dari kebun ini. Kemudian saya bersedekah dengan 1/3-nya, saya makan bersama keluarga saya yang 1/3-nya, dan saya kembalikan pada kebun ini yang 1/3-nya pula—untuk bibit-bibitnya.” (Riwayat Muslim)

Memperhatikan hadits tersebut, kita dapat menarik benang merah, bahwa penghasilan seorang muslim akan menjadi 3 kebaikan apabila didistribusikan:

(3) 1/3 untuk modal kerja (dikembalikan untuk mendapat penghasilan kembali)

(2) 1/3 untuk dimakan (konsumsi sehari-hari, nafkah secukupnya)

(1) 1/3 untuk disedekahkan.

Apa yang dimaksud dengan sedekah? Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Bersedekahlah.” Lalu seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar? Beliau bersabda: “Bersedekahlah pada dirimu sendiri.” Orang itu berkata: Aku mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk anakmu.” Orang itu berkata: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk istrimu.” Orang itu berkata: Aku masih punya yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk pembantumu.” Orang itu berkata lagi: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Kamu lebih mengetahui penggunaannya.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim.

Secara tegas keterangan hadits yang diuraikan tersebut tidak merinci kebutuhan untuk masing-masing infaq (sedekah) untuk individu yang dituju tersebut, namun keterangan ini dapat dijadikan landasan untuk menentukan batasan dan skala prioritas distribusi 1/3 pendapatan tersebut, di pos ini setidaknya dapat dialokasikan anggaran untuk:

1. Haji & Umrah (termasuk berqurban setiap tahunnya) untuk diri sendiri dan pasangan, juga perencanaan keuangan pensiun.

2. Perencanaan pendidikan anak dan anggaran menikahkan anak perempuan serta khitan anak laki-laki (termasuk aqiqah).

3. Berzakat, infaq, sedekah, dan wakaf. Serta menyiapkan dana cadangan yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk kepentingan sosial lainnya, sebut saja memberikan hadiah saat menghadiri walimahan, memberikan pinjaman (mengutangkan), dll.

Jika dibagi rata setiap pendapatan kita pada pos-posnya, Insya Allah hak dan kewajiban semua pihak akan tertunaikan. Artinya, pendapatan yang dihasilkan tidak sepenuhnya untuk dikonsumsi, untuk itulah diperlukan pemahaman yang baik tentang perencanaan keuangan, agar pemanfaatannya optimal dan mendapat keberkahan serta bernilai ibadah. [ ]

Sumber : personal.keuanganusaha 

 

 

Share this post

scroll to top