Kisah Sedih Penghafal Al Qur’an yang Ditimpa Penyakit Tumor Otak

Ilustrasi

Ilustrasi

Akhwatmuslimah.com – Sebuah kisah dari perjalanan Aminah Al-Mi’thowi yang mencengangkan, dia bertutur, “Aku adalah wanita yang dulu kuduga bahwa diriku sudah meninggal sebelum lahir, karena aku menghadapi beberapa musibah yang beragam dalam hidupku. Sesuatu yang tidak terbayangkan dalam benakku.

Namun alhamdulillah, keyakinanku pada Allah semakin kuat. Saat aku bingung memaknai kehidupan di sekelilingku, aku hanya berserah diri kepada-Nya. Aku dulu berpenyakit tumor otak. Tidak terlalu buruk, tapi penyakit itu mengerikan. Biarpun penanganan secara terus-menerus dan teratur, tapi tidak ada tanda-tanda baik selama 4 tahun. Namun secara internal, aku yakin bahwa Allah tidak mengujiku dengan penyakit melainkan untuk memberiku sesuatu yang luhur lagi agung dan mengampuni dosa-dosaku. Jadi, ujian itu ada pelajaran yang tidak kita ketahui hikmahnya.

Terakhir kalinya aku mengunjungi dokter, mataku merasakan dunia tampak gelap disebabkan akhir pemvonisan dari dokter. Kabar yang selamanya tidak menyenangkan. Lalu aku putuskan untuk menghafal Al-Qur’an agar hatiku tenang. Mulanya bukan untuk kesembuhanku, tapi niatku menghafalnya sebelum mati. Karena awalnya aku merasa ajalku sudah dekat. Aku memulai hafalan sendiri, kadang-kadang aku bersungguh-sungguh, namun terkadang pula semangatku melemah. Karena aku yakin memayahkan otak dengan hafalan bisa menambah ganas penyakit. Lalu aku menghafal lagi sampai berulang-ulang. Aku memuji Allah siang sampai malam karena-Nya. Demi Allah, perasaanku tidak bisa diutarakan dan kebahagiaanku sangat besar dengan meyelesaikan surat demi surat, lembar demi lembar. Perasaan senangku melupakan akan penyakitku, sekalipun aku juga sibuk dengan membantu Ayah dan Ibu.

Dari momen itu, aku mulai menghafal. Tapi keinginanku untuk tidur selalu meyerangku, paling banter aku tidur hampir 16 jam sehari. Namu aku khawatir waktuku akan habis percuma. Maka aku berserah diri kepada Allah. Segenap diriku yakin akan terjauh dari setan, dan aku mengalahkannya dengan memperbanyak wudhu. Memang wudhu ada stimulan(obat) yang mengagumkan. Aku banyak bergerak, pantang mundur, aku tetap menghafal dan tetap meminta bantuan Allah dengan shalat dan istighfar. Ketika aku membaca firman-Nya yang artinya“Berkata, Musa:”Itulah mereka sedang menyusuliku dan aku bersegera kepada-Mu ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridho (kepadaku)” (Thaha:84). Tangisku tiba-tiba mengucur deras, merasa dalam waktu dekat aku akan mati. Karena itu, aku harus menghafak Al-Qur’an sampai bertemu Allah dengan kitab-Nya, mudah-mudahan Dia mengampuniku. Aku sempurnakan penrjalanan hafalanku, berpindah dari halaman ke halaman lain dan dari baris ke baris. Pada saat yang bersamaan melawan rasa sakit, melawan bisikan setan, dan juga nafsuku sendiri.
Tapi dengan apa aku akan menghadap Allah? Aku mengharap penolong, aku inginkan penghibur dalam kuburku. Kubur itu sunyi. Jika semangatku melemah, dengan cara apa aku berbakti kepada kedua orang tuaku? Aku berharap memuliakan mereka di hari kiamat dengan mahkota, bukankah mereka juga memperhatikan sakitku ini? sakit yang aku derita selama ini? Begitulah aku juga selalu teringat dengan perkataan malaikat nanti padaku, “Bacalah dan naiklah”. Maka tinggi dan luhurlah niatku menghafal Al-Qur’an.

Aku dalam peperangan kompetisi, sampai akhirnya aku down dan dunia terasa gelap. Aku merasa tidak mungkin menghafal Al-Qur’an karena sakitku. Hapir saja aku meninggalkan amalan mulia ini. Namun yang sulit bagaimana aku membantu Ayah dan Ibuku? Aku menangis panjang di keheningan malam. Lalu aku membaca Al-Qur’an, hingga akhirnya mataku tertuju pada firman Allah yang artinya “Dan sesungguhnya telah kami jadikan kapal itu sendiri sebagai pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? ” (Al-Qamar:15). Demi Allah, seakan-akan aku baru pertama kali membacanya. Allahu Akbar. Allah telah menanggungku dengan mudah menghafal. Lalu kenapa aku tidak minta pertolongan-Nya dan memperbaharui tekadku? “Demi Allah, aku tidak akan menghadap Allah melainkan kitab-Nya sudah ada dihatiku.”

Aku sempurnakan perjalanan hafalan, hari-hari berlalu, sedang aku bersungguh-sunggu, sampai akhirnya datang malam khataman. Aku putuskan untuk tidak tidur sebelum menghafal. Aku berwudhu, lalu shalat malam dua raka’at, dan mulai menghafak. Dan pada malam itu dengan karunia-Nya, Allahu Akbar, Allah membuka pintu hatiku lebar-lebar. Aku menghafal dengan puncak konsentrasi dan kebahagiaan, sampai aku mencapai kemuliaan hafalan.
Dan akhirnya, tampak olehku surat an-Nas, alhamdulillah, ya Allah akhirnya aku sampai. Disini aku mengucurkan air mata yang belum pernah terasa manis sebelumnya. Lalu aku menangis dari relung hati yang paling dalam. Aku telah hafal Al-Qur’an sebagaimana orang yang diajukan untuk mendegar di depan malaikat dan pemimpin orang-orang yang syahid. Kematian terbayang olehku sangat terasa dekat.

Dengan khatam ini, aku merasa seperti baru dilahirkan. Segala puji bagi Allah yang maha mampu atas segala sesuatu. Dan ketika menghendaki suatu perkara, dia katakan padanya, “Jadilah!” Maka terjadilah.” ketika itu aku merasa ajal mendekat. Tetapi perasaanku tidak seperti dulu lagi. Sekarang aku merasa senang, karena akan bertemu dengan-Nya sedang aku telah meghafal kitab-Nya.

Selang beberapa hari, aku pergi mengobservasi analis tumorku ini. Dan aku dalam keadaan bersiap-siap menerima musibah dalam hidupku. Namun, aku ditimpa shock yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dokter keluar mengabari hasil analisis. Namun disana hanya ada hal yang terindikasi trouble. Ruang hasil analisa tampak kacau balau. Dokter tampak tercengang, mereka berkumpul untuk menguatkan apa yang dilihat pada sinar-X. Aku duduk sambil berdia, “Ya Allah, selamatkanlah musibahku. Dan gantilah dengan yang baik.”



Menit berlalu bagaikan tahum. Aku merasa down saat dokter mulai memberitahuku hasilnya. Dan seketika aku terperanjak shock saat dokter bilang, “Subhanallah, engkau sudah sembuh sempurna dengan proporsi 70%!!!.” Allahu Akbar.. Allahu Akbar. Ya Allah, alangkah agungnya berita yang kudengar ini, padahal aku berharap kemajuan hanya 1%. Seketika itu aku bersujud dan menangis dengan tangisan yang belum pernah kulakukan sebelumnya dalam hidupku. Maha benar firman-Nya. Dalam Al-Qur’an ada penyembuh bagi manusia. “Maka jangan berputus asa dari rahmat-Nya.” setiap yang Dia tulis pada kita adalah rahmat dan belas kasihnya.

SubhanaAllah… Allah Maha Segalanya yang bahkan manusia pun tidak bisa memutuskan akan hidup seseorang jika Allah berkehendak ia belum saatnya bertemu dengan Rabb-nya..! Ini nyata dialami oleh Aminah Al-Mi’thowi.

Ini salah satu kisah perjalanan para penghafal Al-qur’an (Dalam buku yang berjudul “Kisahku dalam Menghafal Al-qur’an”).

Penulis Muna Said Ulaiwah

=====

Sumber : denyaris

Share this post

scroll to top