6 Tips Bertengkar yang Islami untuk Suami Istri

Ilustrasi. (Foto : indianexpress.com)

Ilustrasi. (Foto : indianexpress.com)

Akhwatmuslimah.com – Sahabat Islam yang berbahagia, kita bersyukur kepada Allah bahwa hingga hari ini Allah masih mengulur waktu buat kita. Berbicara soal vonis, sebenarnya setiap kita telah dijatuhi hukuman mati (QS.21:35), hanya jadwal eksekusi yang berbeda-beda, ada yang minggu lalu, kemarin, tadi pagi, dan saya, Anda? Entah kapan, yang jelas waktu yang tersisa, harus kita maksimalkan untuk berbuat baik. Diantara kebaikan itu adalah: membangun sinergi yang baik antar dua kekasih yang diikat erat janji suci, suami dengan isteri.

Bertengkar adalah fenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga, kalau ada seseorang berkata: “Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya!” Kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum beristeri, atau ia tengah berdusta.

Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya saja dihantarkan dalam muatan emosi tingkat tinggi. Kalau tahu etikanya, dalam bertengkarpun kita bisa mereguk hikmah, betapa tidak, justru dalam pertengkaran, setiap kata yang terucap mengandung muatan perasaan yang sangat dalam, yang mencuat dengan desakan energi yang tinggi, pesan-pesannya terasa kental, lebih mudah dicerna ketimbang basa basi tanpa emosi.

Baiklah, hari ini saya ingin paparkan resep keluarga kami dalam melangsung kan sebuah pertengkaran, alhamdulillah telah saya jalani selama 13 tahun, dan berhasil membangun keadaan yang senantiasa lebih asyik daripada sebelum terjadi pertengkaran.

Tulisan ini murni Non Politik, jadi tolong jangan tergesa-gesa menghapusnya. Ketika saya dan si pencuri [hati saya] — eh enggak koq dia tidak curi hati saya, malah saya kasikan dengan ikhlas dibarter hatinya yg tulus–awal bertemu, setelah saya tanya apakah ia bersedia berbagi masa depan dengan saya, dan jawabannya tepat seperti yang diharap, kami mulai membicarakan seperti apa suasana rumah tangga ke depan. Salah satu diantaranya adalah tentang apa yang harus dilakukan kala kita bertengkar, dari beberapa perbincangan via tulisan plus waktu yang mematangkannya, tibalah kami pada sebuah Memorandum of Understanding, bahwa kalau pun harus bertengkar maka :

1. Kalau bertengkar tidak boleh berjama’ah

Cukup seorang saja yang marah-marah, yang terlambat mengirim sinyal nada tinggi harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjama’ah, seorangpun sudah cukup membuat rumah jadi meriah. Ketika ia marah dan saya mau menyela, segera ia berkata “STOP” ini giliran saya!
Saya harus diam sambil istighfar. Sambil menahan senyum saya berkata dalam hati : “Kamu makin cantik kalau marah, makin energik …” Dan dengan diam itupun saya merasa telah beramal sholeh, telah menjadi jalan bagi tersalurkannya luapan perasaan hati yang dikasihi… “Duh kekasih… bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu menjadi lega, maka di padang kelegaan perasaanmu itu aku menunggu …..”
Demikian juga kalau pas kena giliran saya “yang olah raga otot muka”, saya menganggap bahwa distorsi hati, nanah dari jiwa yang tersinggung adalah sampah, ia harus segera dibuang agar tak menebar kuman, dan saya tidak berani marah sama siapa-siapa kecuali pada isteri saya, maka kini giliran dia yang harus bersedia jadi keranjang sampah. Pokoknya khusus untuk marah, memang tidak harus berjama’ah, sebab ada sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan secara berjama’ah selain marah.

2. Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan ungkit yang telah terlipat masa. Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, sebab masa silam adalah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah. Siapapun tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab harapan terbentang mulai hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga harapan, bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran diantara orang yang masih mempunyai harapan, hanyalah sebuah foreplay, sedang pertengkaran dua hati yang patah asa, menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangunnya. (Sampai hari ini, biaya
pernikahan saya masih harus terus saya cicil, sayangkan kalau di delete begitu saja…



Kalau saya terlambat pulang dan ia marah,maka kemarahan atas keterlambatan itu sekeras apapun kecamannya, adalah “ungkapan rindu yang keras”. Tapi bila itu dikaitkan dgn seluruh keterlambatan saya, minggu lalu, awal bulan kemarin dan dua bulan lalu, maka itu membuat saya terpuruk jatuh.
Bila teh yang disajinya tidak manis (saya termasuk penimbun gula), sepedas apapun saya marah,maka itu adalah “harapan ingin disayangi lebih tinggi”. Tapi kalau itu dihubungkan dgn kesalahannya kemarin dan tiga hari lewat, plus tuduhan “Sudah tidak suka lagi ya dengan saya”, maka saya telah
menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya di masa lalu, ups saya telah membunuhnya, membunuh cintanya. Padahal kalau cintanya mati, saya juga yang susah …. OK, marahlah tapi untuk kesalahan semasa, saya tidak hidup di minggu lalu, dan ia pun milik hari ini…

3. Kalau marah jangan bawa bawa keluarga !
Saya dengan isteri saya terikat masa 13 tahun, tapi saya dengan ibu dan bapak saya hampir dua kali lipat lebih panjang dari itu, demikian juga ia dan kakak serta pamannya. Dan konsep Quran, seseorang itu tidak menanggung kesalahan fihak lain (QS.53:38-40).
Saya tidak akan terpantik marah bila cuma saya yang dimarahi, tapi kalau ibu saya diajak serta, jangan coba-coba. Begitupun dia, semenjak saya menikahinya, saya telah belajar mengabaikan siapapun di dunia ini selain dia, karenanya mengapa harus bawa bawa barang lain ke kancah “awal cinta yang panas ini”. Kata ayah saya : “Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu banyak”. Memarahi orang yang mencintai saya, lebih mudah dicari ma’afnya dari pada ngambek pada yang tidak mengenal hati dan diri saya..”. Dunia sudah diambang pertempuran, tidak usah ditambah tambah dengan memusuhi mertua!

4. Kalau marah jangan di depan anak anak !
Anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian. Dia tidak lahir lewat pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka harus menonton komedi liar rumah kita. Anak yang melihat orang tuanya bertengkar, bingung harus memihak siapa. Membela ayah, bagaimana ibunya. Membela ibu, tapi itu ‘kan bapak saya. Ketika anak mendengar ayah ibunya bertengkar :
Ibu : “Saya ini cape, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu
datang main suruh begitu, emang saya ini babu ?!!!”
Bapak : “Saya juga cape, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan
aku harus mencari lebih banyak untuk itu, saya datang hormatmu tak ada,
emang saya ini kuda ????!!!!
Anak : “…… Yaaa …ibu saya babu, bapak saya kuda ….. terus
saya ini apa ?”

Kita harus berani berkata : “Hentikan pertengkaran !” ketika anak datang, lihat mata mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada tawanya ada jejak kerjasama kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata basi hati kita ???

5. Kalau marah jangan lebih dari satu waktu shalat!
Pada setiap tahiyyat kita berkata : “Assalaa-mu ‘alaynaa wa ‘alaa ‘ibaadil-ahissholiihiin” Ya Allah damai atas kami, demikian juga atas hamba-hambamu yang sholeh …. Nah andai setelah salam kita cemberut lagi, setelah salam kita tatap isteri kita dengan amarah, maka kita telah mendustai Nya, padahal nyawamu ditanganNya. OK, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis maghrib harus terbukti lho itu janji dengan Ilahi ….. Marahlah habis Shubuh, tapi jangan lewat waktu dzuhur, Atau maghrib sebatas isya … Atau habis isya sebatas …. ??? Nnngg .. Ah kayaknya kita sepakat kalau habis Isya sebaiknya memang tidak bertengkar …

6. Kalau kita saling mencinta, kita harus saling mema’afkan
(Hikmah yang ini saya dapat belakangan, ketika baca di koran resensi sebuah film). Tapi yang jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah “proses belajar untuk mencintai lebih intens”. Ternyata ada yang masih setia dengan kita walau telah kita maki-maki.

Ini saja, semoga bermanfa’at, “Dengan ucapan syahadat itu berarti kita menyatakan diri untuk bersedia dibatasi”.

Selamat tinggal kebebasan tak terbatas yang dipongahkan manusia pintar.

=====

Sumber : baitijannati

Share this post

scroll to top