Komentar Para Tetanggamu Tentang Dirimu, Bisa Mencerminkan Siapa Kamu

Ilustrasi.

Ilustrasi.

Akhwatmuslimah.com – Nabi Ya’qub berpesta daging unta bakar bersama anak kesayangannya, Yusuf. Mereka menikmati makanan itu sambil tertawa-tawa. Padahal, di sebelah rumah mereka, dibalik tembok, ada seorang anak yatim yang tinggal bersama neneknya. Mencium bau daging unta bakar yang lezat dari rumah sebelah, air liurnya melegak. Namanya juga anak-anak, gara-gara keinginannya tak kesampaian, anak yatim yang papa itu menangis. Neneknya yang renta juga menangis melihat cucunya mengiba gara-gara ingin makan daging unta.

Akan halnya, Nabi Ya’qub dan Yusuf, mereka sungguh tidak tahu akan hal ini. Mereka terus menikmati daging unta bakar, dan tidak menyisakannya untuk si anak yatim. Konon, gara-gara ini, Allah menurunkan bala buat Nabi Ya’qub, yaitu berpisah dengan anak kesayangannya itu, Yusuf, hingga bertahun-tahun. Atas kehilangan itu, dia menangis terus menerus sehingga kedua bola matanya menjadi putih lantaran sedih. Sedang Yusuf sendiri diuji Allah menjadi budak belian setelah dibuang ke sebuah sumur oleh saudara-saudaranya yang lain ibu. (Irsyadul ‘Ibad)

Imam Mujahid punya cerita teladan tentang hidup bertetanggga secara baik. Suatu kali ia bersama Ibnu Umar yang sedang menunggui pembantunya menguliti seekor kambing. “Kalau kamu sudah selesai menguliti seekor kambing, dahulukan tetangga Yahudi kita (untuk diberi bagian)”, pesan Ibnu Umar kepada pembantunya itu.
Selang beberapa saat, dia berpesan lagi, “Jangan lupa, dahulukan tetangga Yahudi kita”.
Eh, beberapa jurus kemudian dia berpesan hal yang sama, “Jangan lupa, lho, tetangga Yahudi kita, kasih bagian lebih dulu”, katanya.
Sang pembantu bosan juga rupanya mendapat pesan yang diulang-ulang.
“Berapa kali Tuan sudah bicara yang sama kepada saya?”, sergahnya
“Sungguh Rasulullah SAW, tiada henti-hentinya mewasiatkan soal tetangga ini sehingga kami khawatir, beliau akan mewariskannya kepada kami”, jawab Ibnu Umar. (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Bukan cuma Rasulullah, “Malaikat Jibril, sabda Nabi Muhammad SAW, tak bosan-bosannya berwasiat padaku agar berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku menyangka dia akan mewariskannya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah menjelaskan, dalam hadis yang diriwayatkan Az-Zuhri, tetangga adalah orang-orang yang tinggal di lingkungan kita, hingga 40 KK (kepala keluarga). “Empat puluh di sini, empat puluh di sini, empat puluh di sini, empat puluh di sini”. Jelas sang perawi, Az-Zuhri, sembari menunjuk masing-masing arah angin. Artinya, 40 rumah di sebelah utara rumah kita, 40 rumah di sebelah selatan, 40 rumah di sebelah timur, dan 40 di sebelah barat. Jumlahnya 160 KK.

Tetangga adalah barometer. Ketika seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimana saya tahu apakah saya telah berbuat baik atau jelek kepada orang lain?”
Beliau menjawab, “Jika tetangga-tetanggamu mengatakan kamu tetangga yang baik, maka engkau memang orang baik. Jika mereka bilang kamu adalah tetangga yang jelek, maka kamu memang orang jelek.”

“Tetangga itu ada tiga macam”, sabda Rasulullah SAW. “Ada tetangga yang punya satu hak, ada tetangga yang punya dua hak, ada tetangga yang punya tiga hak. Tetangga yang punya tiga hak adalah tetangga muslim yang masih terhitung keluarga. Dia memiliki hak ketetanggaan, hak keislaman dan hak kekeluargaan. Tetangga yang punya dua hak adalah tetangga muslim, dia menikmati hak ketetanggaan dan hak keislaman. Ssedang tetangga yang punya satu hak adalah tetangga musyrik.

Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai seorang perempuan yang kalau siang berpuasa dan kalau malam beribadah, tapi dia sering menyakiti tetangganya. Apa jawab beliau? “Dia masuk neraka”, sabda beliau. Sampai-sampai beliau dikabarkan bersabda, “Jika kamu melempar anjing tetanggamu, maka engkau telah mengganggunya”.



Ketika Sayyidina Abu Bakar As-Shidiq melihat anaknya, Abdurrahman, memegang ubun-ubun tetangganya (entah karena marah atau apa), beliau berkata, “Anakku, janganlah kamu memegang ubun-ubun tetanggamu. Sebab, orang ini tetap (di dekatmu) sementara orang-orang lain pergi (dari lingkunganmu)”.

Tetangga itu bermacam-macam, ada yang baik, ada pula yang jelek. Sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud, pernah dilapori seorang lelaki mengenai tetangga yang jelek.
“Ibnu Mas’ud, saya punya tetangga jelek sekali. Dia suka menggangguku, dia mengumpatku, dia berbuat sesak padaku”, keluh lelaki itu.
“Pergilah!”, jawab Ibnu Mas’ud. “Kalau dia durhaka (bermaksiat) kepada Allah dalam hubungan denganmu, maka taatlah kepada Allah dalam berhubungan dengannya”.

Seorang lelaki di zaman Rasulullah juga pernah mengadukan hal yang sama kepada beliau. Rasulullah memberinya nasihat agar bersabar.
Rupanya lelaki itu tipe orang yang ngeyel. Meski sudah disuruh bersabar, dia masih mengadukan soal tetangganya itu lagi. Akhirnya beliau bersabda, “Begini saja, keluarkan perabotan rumahmu, taruh di tengah jalan”.
Orang-orang yang melintas jadi heran melihat perabotan di tengah jalan. “Ada apa kamu ini?”, tanya mereka.
Tapi lelaki itu tak mau menjawab. Justru penjelasan diberikan orang lain. “Orang ini diganggu tetangganya!”
“Terkutuklah tetangga itu. Mudah-mudahan Allah melaknatnya”, kata mereka
Dikutuk demikian banyak orang, akhirnya lunglai juga hari tetangga ini, “Sudah, bawa masuk perabotan rumahmu itu, aku tidak akan mengganggumu lagi”, katanya kepada lelaki itu.

Seorang ulama mengeluhkan banyaknya tikus di rumahnya. “Kiai memelihara kucing saja, biar tikus-tikus itu pada lari”, seseorang memberi saran.
“Aku memang sempat terpikir kesana. Tapi aku khawatir, jika mendengar suara kucing, tikus-tikus itu hijrah ke rumah tetangga”, katanya.
Rasulullah pernah berpesan kepada Abu Dzar Al-Ghifari, “Jika kamu memasak sayuran, perbanyaklah kuahnya. Lihatlah tetangga-tetanggamu, berilah mereka bagian”.

Masih ada sejumlah hak tetangga lainnya. Di antaranya memberi salam (atau menyapa) lebih dulu di kala bersua, tidak sering-sering berbicara panjang lebar dengan mereka, tidak banyak bertanya mengenai keadaannya, mengunjunginya di kala dia sakit, melayatnya jika ditimpa musibah (kematian keluarga) serta membantu segala pengurusan jenazahnya, memberinya ucapan selamat jika mendapat nikmat, serta memperlihatkan rasa bahagia bersamanya, tidak mempersempit jalan menuju rumahnya, tidak lupa mengawasi rumahnya di kala dia pergi, dan seterusnya. [ ]

Dikutip dari kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al Ghozali oleh Hamid Ahmad

Share this post

scroll to top