Hukum Wanita Karier & Tampil Di Muka Umum Dalam Islam

Ilustrasi. (Foto: puskopsyahlampung.com)

Ilustrasi. (Foto: puskopsyahlampung.com)

Akhwatmuslimah.com – Di era dengan lajunya informasi dan teknologi serta peradaban, kemampuan wanita kian bisa di sejajarkan dengan kaum pria dalam bidang-bidang tertentu. Dalam Islam tentu hal ini menjadi permasalahan tersendiri.

Sebagai muslim ada koridor-koridor tertentu yang mesti di patuhi. Masalah wanita karier memang jadi bahan pertentangan antara pendukung dan penentangnya.

Yang mendukung tentu datang dengan sejumlah dalil serta argumentasi. Dan yang menentangnya pun tidak kalah kuat dalil serta argumennya.

Pendapat Yang Mendukung Wanita Karier

1. Khadidjah ra. Adalah Seorang Pebisnis

Khadijah ra adalah seorang istri yang tidak hanya berdiam diri serta bersembunyi di dalam kamarnya. Sebaliknya, dia adalah seorang wanita yang aktif dalam dunia bisnis. Bahkan sebelum Rasulullah menikahinya, beliau pernah menjalin kerjasama bisnis ke negeri Syam. Setelah menikahinya dan memiliki anak, tidak berarti istrinya itu berhenti dari aktifitasnya.

Bahkan harta hasil jerih payah bisnis Khadijah ra itu amat banyak menunjang dakwah di masa awal. Di masa itu, belum ada sumber-sumber dana penunjang dakwah yang bisa diandalkan. Satu-satunya adalah dari kocek seorang donatur setia yaitu istrinya yang pebisnis kondang.

Sebagai seorang pebisnis, sosok Khadijah adalah bukan tipe wanita rumahan yang tidak tahu dunia luar. Sebab bila demikian, bagaimana dia bisa menjalankan bisnisnya itu dengan baik, dan sementara itu rumah tangga beliau pun bisa dikendalikan dengan baik.



2. Aisyah ra. Tokoh Masyarakat dan Ikut Perang Jamal

Aisyah ra, seorang wanita cerdas, muda dan cantik yang kiprahnya di tengah masyarakat tidak diragukan lagi. Posisinya sebagai seorang istri tidak menghalanginya dari aktif di tengah masyarakat.

Semasa Rasulullah masih hidup, beliau sering kali ikut keluar Madinah ikut berbagai operasi peperangan. Dan sepeninggal Rasulullah SAW, Aisyah adalah guru dari para shahabat yang mampu memberikan penjelasan dan keterangan tentang ajaran Islam.

Bahkan Aisyah ra. pun tidak mau ketinggalan untuk ikut dalam peperangan. Sehingga perang itu disebut dengan perang unta, karena saat itu Aisyah ra. naik seekor unta.

3. Wanita punya hak untuk memiliki harta sendiri

Dalam Islam mengakui hak milik seroang wanita atas hartanya. Dari hukum waris, ada pengakuan bahwa wanita berhak mewarisi harta dari orang tua, kakak, suami atau anaknya. Dan ketika dinikahi, haruslah diberikan mahar atau harta sebagai tanda kehalalannya. Mahar ini untuk selanjutnya menjadi hak milik pribadi wanita tersebut. Suaminya tidak punya hak atas pemberiannya itu. Maka wanita bebas mencari harta untuk dirinya, bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai kebolehan atau hak pribadinya. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk menghalangi wanita untuk mendapatkan harta untuk dirinya sendiri.

4. Para Wanita Di Masa Rasulullah Keluar Rumah

Para wanita di masa Rasulullah SAW tidak dikurung di dalam rumah, tak ada sebuah riwayatpun yang menyebutkan hal itu. Sebaliknya, para wanita shahabiyah diriwayatkan banyak sekali melakukan aktifitas di luar rumah. Baik untuk urusan dagang, dakwah, silaturrahim, rekreasi bahkan perang sekalipun.

Yang paling jelas dan tidak mungkin ditolak adalah keluarnya para wanita ke masjid. Sesuatu yang pernah ingin dilarang oleh pihak tertentu, namun tetap diberikan hak oleh Rasulullah SAW. Sehingga shalat jamaah di masjid di masa Rasulullah SAW tetap dihadiri oleh jamaah wanita. Maka mereka akan mendapat pahala shalat jamaah sebagaimana laki-laki meskipun bila tidak dilakukannya tidak menjadi masalah. Bahkan Rasulullah menyediakan khusus waktu dimana beliau mengajar para wanita. Para wanita shahabiyah keluar rumah dan berkumpul untuk belajar dari Rasulullah SAW.

Sedangkan pada  dua hari raya Islam yaitu:
‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha, para wanita dianjurkan untuk hadir di tempat shalat (mushalla) meskipun mereka sedang mendapat haidh. Berkumpul bersama dengan para laki-laki untuk mendengarkan khutbah dan menghadiri shalat ‘Ied.

Pendapat Yang Menolak Wanita Bekerja

Sedangkan mereka yang cenderung menolak kebolehan wanita bekerja di luar rumah, juga punya dalil dan argumen yang tidak bisa disepelekan. Diantaranya adalah :

1. Dalil Al-Quran

Allah SWT telah berfirman tentang keharusan wanita menetap di dalam rumah, tidak untuk keluar bepergian kesana kemari, mengisi tempat-tempat pekerjaan laki-laki, serta menjadi penghibur nafsu syahwat mereka.
“Dan hendaklah kamu (para wanita) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-ahzab : 33)

2. Hadits Rasulullah SAW.

Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa wanita itu tidak boleh keluar rumah, sebab akan menjadi fitnah.
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,
“Wanita itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya”.

Menurut At-turmuzi hadis ini kedudukannya hasan shahih. Dan secara jelas disebutkan bahwa ketika seorang wanita keluar rumah, maka syetan akan menaikinya dan akan menjadi sumber masalah baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.

3. Jangan Bandingkan Kondisi Di Zaman Rasulullah Dengan Zaman Sekarang

Mereka juga menganggap hampir semua dalil yang menceritakan tentang keluarnya para wanita di masa Rasululah menjadi tidak relevan di masa sekarang ini. Sebab kondisi sosialnya sudah jauh berbeda. Para shahabat yang tinggal di Madinah adalah orang-orang yang suci, bersih dan sangat menjaga diri dari fitnah. Demikian juga dengan hukum yang berlaku adalah hukum Islam, dimana hampir tidak ada celah sedikitpun untuk bisa terjadinya penyelewengan. Maka dalam kondisi yang sedemikan baik itu, bolehlah para wanita keluar rumah tanpa khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan.

Sedangkan yang terjadi sekarang ini justru sebaliknya. Begitu banyak kemaksiatan dan godaan yang meraja lela digelar di tengah kita. Maka untuk masa sekarang ini, membiarkan wanita keluar rumah dan bercampur
dengan laki-laki lebih beresiko dan menjadi sumber kerusakan umat. Maka sudah selayaknya wanita muslimah yang baik tidak keluar rumah dan merusak kesucian dirinya dengan kerusakan zaman. Apalagi berjejalan di kendaraan dengan laki-laki asing, berhimpitan dan bertumpang tindih satu sama lain tanpa batas.

Dengan memperhatikan dua kutub ini, maka kita perlu mengambil jalan tengah, antara yang mengharamkan keluarnya wanita dengan yang menghalalkan. Paling tidak kita mengerti mengapa seseorang mengharamkan atau menghalalkan. Sehingga kita tidak terjebak dengan salah satu dari dua sikap ekstrem yang berlebihan.

II. Mengapa Wanita Barat Bekerja Di Luar Rumah ?

Wahbi Sulaiman Ghawaji dalam bukunya Al-Mar’ah Al-Muslimah menyebutkan latar belakang yang mendukung mengapa para wanita di Barat cenderung untuk bekerja ke luar rumah. Diantaranya beliau menyebutkan :

1. Budaya di sana adalah bahwa orang tua tidak memberi nafkah kepada anak mereka sampai batas usia tertentu. Terutama bila sudah berusia 18 tahun, maka semua nafkah dan uang pemberian terputus sama sekali. Bahkan sekedar untuk menumpang tinggal di rumah orang tua pun sering harus membayar uang tertentu. Bahkan membayar biaya mencuci bayu dan menyetrikanya. Maka wajarlah para wanita terpaksa harus bekerja apa saja dan hal itu sudah ditanamkan sejak kecil. Sebab dia tetap harus menyambung hidupnya saat masih remaja.

2. Orang Barat mewarisi budaya hedonis dan rancu tentang wanita. Mereka terbiasa menjadikan wanita sebagai alat dan objek, bukan sebagai manusia yang punya jiwa dan naluri. Maka pemandangan sehari-hari di barat adalah wanita yang dijadikan asset perdagangan baik secara langsung atau tidak langsung. Pertama : wanita dijadikan tenaga kerja, sebab upahnya lebih murah dibandingkan upah laki-laki. Kedua : wanita dijadikan media promosi yang muncul hampir di semua iklan dan dunia advertising. Ketiga : wanita dijadikan objek promosi dan calon konsumen yang paling royal menghamburkan uang. Maka pemandangan wanita keluar rumah dan bekerja dalam bidang apa saja tanpa batas sudah menjadi tuntuan kehidupan sosial di sana.

3. Orang-orang di Barat hidup dengan mengikuti naluri dan insting mereka. Atau bahasa yang lebih tepatnya adalah mengikuti hawa nafsunya saja. Kemana hawa nafsunya membawa, kesanalah mereka akan berjalan. Dan daya tarik wanita adalah tema yang paling menarik hawa nafsu. Maka wajarlah naluri mereka mengatakan bahwa seharusnya wanita ada di berbagai tempat. Di kantor, sekolah, bengkel,  pompa bensin sampai pada tempat yang secara khusus dibuat untuk memberikan pelayanan wanita secara seksual (rumah bordil).

Maka tidak ada satupun wilayah dan bidang kehidupan di Barat yang tidak diisi oleh para wanita. Dan keluarnya para wanita ke berbagai tempat yang tidak cocok dengan jiwa mereka sekalipun sudah menjadi hal yang tidak bisa dihindari lagi. Mereka tidak pernah mampu membedakan hakikat laki-laki dan wanita serta bidang wilayah pekerjaannya. Bahkan cenderung menganggap kedua jenis kelamin itu sama saja. Padahal secara pisik pun keduanya sudah berbeda. Wanita punya rahim sebagai wahana reproduksi yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Wanita punya masa menstruasi yang tidak akan pernah dialami laki-laki. Perbedaan pisik ini tentu bukan tidak ada artinya. Justru dengan mengamati perbedaan pisik ini yang berlaku pada semua jenis ras manusia, kita tahu bahwa ada jenis fungsi dan peran yang seharusnya juga berbeda. Dan bila salah dalam meletakkan fungsi dan peran itu, maka akan terjadi ketidak-seimbangan. Maka wajar pula bila ada banyak hal yang berantakan bila terjadi salah peletakan fungsi.

III. Adab Wanita Untuk Keluar Rumah dan Tampil Di Muka Umum

Kalaulah ada pihak yang memberikan sedikit kebebasan bagi wanita untuk keluar dan bekerja di luar rumah, maka tetaplah harus dengan memperhatikan dan menjaga batas-batas atau adab Islam, yaitu tidak ikhtilath (berbaur antara lelaki dan perempuan), tidak membuka aurat, tidak kholwah (berdua dengan lelaki) dan terhindar dari fitnah.

Dalam kondisi normal, yang seharusnya tampil didepan umum yang terdiri dari kaum lelaki dan kaum wanita adalah orang laki-laki. Dalam kondisi tertentu, yakni adanya kebutuhan obyektif baik dalam sekala umum atau dalam ruang lingkup khusus dan tidak ada yang dapat melakukannya selain wanita yang bersangkutan, ia boleh tampil didepan umum untuk menyampaikan da’wah atau memberikan pelajaran dengan memperhatian ketentuan-ketentuan Islam, yaitu:

1. Mengenakan Pakaian yang Menutup Aurat

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-oarang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka”

2. Tidak Tabarruj atau Memamerkan Perhiasan dan Kecantikan

“Janganlah memamerkan perhiasan seperti orang jahiliyah yang pertama” (QS Al Ahzaab 33)

3. Tidak Melunakkan, Memerdukan atau Mendesahkan Suara

“Janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melunakkan dan memerdukan suara atau sikap yang sejenis) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”
(QS Al Ahzaab 32).

4. Menjaga Pandangan.
“Katakanlah pada orang-orang laki-laki beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya……..”(QS An Nuur 30-31)

5. Aman dari Fitnah .

Hal ini sudah merupakan ijma’ ulama.

6. Mendapatkan Izin Dari Orang Tua atau Suaminya

Ini adalah yang paling sering luput dari perhatian para muslimah terutama aktifis dakwah. Sebab sekali mereka ikut terjun dalam dunia aktifitas rutinitas, maka seolah-olah izin dari pihak orang tua maupun suami menjadi hal yang terlupakan. Padahal izin adalah hal yang perlu didapatkan dan tidak bisa disepelekan begitu saja.

Di sinilah sebenarnya masalah itu berpangkal. Bila wanita itu melihat atau menangkap adanya gejala yang demikian, yaitu ada kecendrungan jadi bahan`tontonan` laki-laki, misalnya dengan rebutan duduk di depan, maka bisa saja disiasati dengan membuat kursi-kursinya agak jauh dari meja dosen. Atau barangkali meminta agar dilakukan rolling tempat duduk agar mereka tidak selalu duduk di depan. Atau bisa juga mahasiswa laki-laki dan wanita di tempatkan terpisah disebelaha kanan dan kiri, lalu dosen wanita itu duduk di bagian mahasiswa wanita.

Jadi sebenarnya tergantung dari bagaimana kemampuan seorang wanita (akhwat) dalam mengatur semua syarat ini.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,

Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Sumber: syariahonline.com, myquran

Share this post

scroll to top