Kisah Nyata : Suami Tak Bernurani

Akhwatmuslimah.com – Berdasarkan curhat seorang istri kepada Ustadz Imtihan asy Syafi’I. Pada tanggal 04 September 2010 pukul 6.52 melalui web seluler, status beliau berisi, “Di pagi buta, seorang perempuan mengadukan suaminya yang berzina dengan seseorang yang dikenalnya lewat facebook… jaga aku, ya Allah…” begitu juga dengan kami ya Allah….

Inilah kisahnya. Sebagaimana ikhwah pada umumnya, keinginan awal berkecimpung dalam dunia maya, terkhusus lagi facebook yang menjadi sebuah fenomena yang menghipnotis semua usia, adalah untuk mereguk ilmu dan hikmah dengan seefektif dan seefisien mungkin. Mendapat banyak manfaat tanpa perlu berpindah-pindah tempat mendatangi pengajian. Cukup duduk di depan internet. Semua catatan yang berisi nasehat dan siraman ruhani bisa dengan mudah didapatkan, dan dibaca sesukanya. Itu niatan awalnya….,

Namun, sebagaimana yang kita tahu bersama, facebook kurang terasa sempurna tanpa memiliki banyak teman. Sehingga  ia add teman-teman yang ia kenal, dan tidak ia kenal. Awalnya mungkin hanya lelaki saja. Namun setelah berlalu beberapa bulan, ia jenuh. Kurang lengkap rasanya bila facebooknya tidak ada teman perempuan. Ia add teman perempuan, sebanyak-banyaknya…., dan di kemudian hari, ia tertarik dengan salah satu dari mereka.

Ia saling berkirim jawab-tanya dengan status-statusnya…, dan berkirim pesan rahasia via inbox. Akhirnya, ia pun jatuh cinta. Cinta yang membutakan hatinya, dan membuatnya jauh dari Allah Ta’ala.

Syetan berhasil, dan tertawa karena mampu menjerumuskan anak adam ke lembah dosa, tidak hanya di dunia nyata tetapi juga dunia maya. Lahan garapan syetan semakin luas sementara anak adam tidak menyadarinya kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Ta’ala. Semoga kita termasuk bagian dari mereka. Amin.

Tidak puas, ia saling chat…, saling tanya alamat rumah, pendidikan, pekerjaan dan lain sebagainya. Hingga berlanjut dengan curhat. Hatinya melayang mengangkasa, dan pikiran nakal mulai memenuhi otaknya. Ia dan teman perempuannya pun mengadakan kesepakatan bersama…..,

Hingga pada suatu ketika…

Mereka bersepakat untuk bertemu-tatap muka. Ikhwah ini mendatangi rumah teman facebooknya yang perempuan, yang ternyata berjarak ratusan kilo dari rumahnya. Gila. Tetapi begitulah, ikhwah ini merasakan jarak yang sedemikian jauh terasa dekat karena ingin berasikmasyuk dengan teman perempuan yang membuatnya seringkali tidak bisa tidur. Yang seringkali, bayangan fotonya menggangu istirahatnya. Benar kata Nabi, “Hubbuka lisy syai’ yu’mi wa yushimmu, cintamu kepada sesuatu bisa membutakan dan membuatmu tuli.”



Ketika bertemu, mata mereka saling beradu pandang. Masing-masing mendekat seolah ada magnet yang menggerakkan mereka berdua, dan syetan lagi-lagi tertawa. Beradu pandang, lalu berjabat tangan mesra, dilanjutkan dengan menumpahkan kerinduan terlarang dengan beradu mulut, saling berpeluk-cium, lalu tubuh saling merapat, dan saling menjamah tubuh yang berada di pelupuk matanya, lalu beradegan ranjang laiknya suami istri di tempat yang sudah disiapkannya….ia telah berzina dengan sebenar-benarnya zina…., melakukan perbuatan nista. Akumulusi dosa yang bertumpuk hingga zina ini merupakan rangkaian dari akibat buruk dosa itu sendiri. Ibnu Qayyim al Jauziyyah menjelaskan, “Inna min uqubatis sayyi’ah as Sayyi’atu ba’daha…,sesungguhnya akibat dari berbuat kemaksiatan adalah melakukan kemaksiatan setelahnya.” Artinya, kemaksiatan memiliki magnet bagi kemaksiatan yang lainnya. Dan, zina kemaluan ini tidak mungkin terjadi kecuali ia merupakan maksiat ke-sekian yang didahului maksiat beraneka rupa.

Padahal ia seharusnya sadar…..,

Pada saat ia melakukan semuanya; saat ia mencumbui perempuan yang tidak halal baginya, saat ia menikmati semua lekak-lekuk tubuh perempuan yang dizinainya…..,

Di sana ada malaikat hafazhah, yang akan mencatatkan semua perbuatannya…

Di sana ada bumi yang akan merekam semua jejak amalnya …

Di sana juga ada anggota badan yang membersamainya, yang kelak akan menggugat dirinya sendiri; tangan akan bicara dan kaki akan menjadi saksi atas semua yang pernah terjadi; atas lezatnya maksiat yang pernah ia cicipi, besar-kecilnya, samar-jelasnya, tersembunyi-nyatanya….

Lebih dari itu, Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui segalanya. Dzat yang telah memberikan berbagai karunia dan nikmat tak terhingga itu ia khianati, dan ia maksiati…, sedang Allah masih bersabar karena masih memberikan kesempatan bertaubat kepadanya. Padahal Allah Maha Kuasa memberikan balasan setimpal seketika itu juga….., Demi Allah, Dia Maha Kuasa memberikan balasan setimpal seketika itu juga….,

Ia pun mengaku…

Seminggu pergi meninggalkan istri di rumah sendirian ternyata disalahgunakan oleh ikhwah ini. Ia khianati keshalihan istrinya yang selalu menanti datangnya penuh harap, yang merindui pelukan hangatnya, yang selalu memohon kebaikan baginya di setiap bait-bait doanya, dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri semampu yang ia bisa.

Beberapa hari berada di rumah, ikhwah ini dihantui rasa bersalahnya. Dihantui dosa yang zina yang dilakukannya. Sehingga ia berinisiatif untuk berterus terang kepada istrinya. Ia mendatangi istrinya, sedang kepalanya tidak berani tertegak, karena ia merasa harga dirinya jatuh di mata Allah, dan juga di mata manusia.

Di hadapan istrinya itu, ia mengaku dengan muka malu dan rasa hati yang tidak karuan, “Mi, bagaimana kalau abi meninggalkan umi dalam jangka waktu yang lama?.” dan perpisahan yang dimaksud ikhwah ini adalah ia siap hidup berpisah bila istrinya mengajukan khulu’ kepadanya. Ia siap dengan konsekwensi pengakuannya, agar dosa zina yang selalu menghantuinya diketahui istrinya dan tidak ada yang ia tutup-tutupi .

Istrinya menimpali dengan jawaban yang menunjukkan kepribadiannya yang shalihah, dan dengan tersenyum manis, ia menjawab, “Kalau untuk berjihad, tidak apa-apa bi…umi ikhlash.”

Jawaban, yang dalam kondisi normal, membuat suami manapun tersenyum bangga, namun bagi ikhwah ini, jawaban ini malah menjadi pukulan mematikan baginya. Ia serasa dihujam tombak, atau dihujani peluru yang memberondong tubuhnya. Ia lemas. Terkulai. Serasa tak mampu ia menyangga tubuhnya. Dalam hati, ia berkata kepada diri sendiri, “Mi, abi sudah tidak pantas beristrikan kamu lagi mi…., tidak pantas jiwa yang kotor ini membersamai dirimu yang shalihah. Diri ini tidak pantas mi…. tidak pantas.”

 Dengan memeramkan mata, dan menahan nafas berat ia ucapkan kata pengakuan semampunya, sekalipun dengan suara lemah, “Mi, abi telah BERZINA dengan teman facebook mi…. maafkan abi, mi…..maafkan abi…., abi khilaf.., abi salah mi….”

Bumi serasa terbalik. Istrinya lebih terpukul. Lebih dahsyat dan lebih hebat. Ia serasa dijatuhi bebatuan besar seberat ratusan kilo. Wajahnya pucat dan matanya berkunang. Dan akhirnya, ia ambruk tak sadarkan diri. Ia tidak sanggup mendengar pengakuan yang barusan terlontar dari mulut suaminya. Suami, yang beberapa tahun lalu meminangnya, sekarang berbalik mengkhianati ikatan suci pernikahannya. Suami, yang memberikan sejuta kenangan indah sekarang memberikan pil pahit yang merusak semuanya. Ah, malangnya….

Istrinya pun menangis…

Hanya menangis. Dia tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Dia tidak tahu harus bagaimana. Beberapa malam kemudian, bersama suami yang duduk di sampingnya, diteleponnya seorang ustadz yang dianggapnya dapat memberikan pencerahan dan solusi atas peristiwa terberat yang pernah ia lalui dalam rumah tangganya. Peristiwa yang mungkin tidak akan pernah dilupakannya, bahkan mungkin sampai ajal menjemputnya kelak.
Dengan suasana hati yang masih berkelindan duka dan tangis yang tertahan, ia tunggu respon panggilannya. Telepon tak diangkat. Redial dilakukannya. Namun telepon tak juga diangkat. Selang beberapa waktu, nada penanda pesan berbunyi.

Pesan tertampilkan, “Siapa ini?”
Segera di-dialnya dan ia pun beruluk salam, “Assalamu’alaikum.”
Dari seberang telepon, terdengar jawab salamnya, “Wa’alaikumussalamu wa rahmatullahi wa barakatuh.”
Ditelepon pada jam sahur, apalagi oleh seorang perempuan bukanlah sesuatu yang biasa. Ustadz itu menyelidiki identitas peneleponnya, “Maaf, saya tidak kenal dengan Anda. Siapa Anda?”
“Saya fulanah, Ustadz, istrinya Fulan.” Jawabnya memperkenalkan diri seperlunya saja. Nama yang barusan disebut tidaklah asing bagi sang ustadz. Dia kenal dengan laki-laki suami perempuan itu.

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Begini, Ustadz,” dan perempuan itu pun menceritakan badai yang tengah mengamuk di rumahnya. Semua dibeberkannya dengan gamblang. Tak ada  yang ditutupinya. Dia benar-benar ingin mendapatkan jawaban atas prahara yang menderanya.
Bagi sang ustadz, curhat itu terasa lama. Sangat lama bahkan. Karena mengkhawatirkan terjadinya fitnah, sang ustadz langsung mengingatkan,  “Maaf, kita bukan mahram jadi tidak baik ngobrol di telepon sepertiini.”

Kemudian beliau melanjutkan tanya, “Di mana suamimu?”

“Suami saya duduk di samping saya, Ustadz,” jawabnya dengan suara terbata.

“Biarkan saya berbicara langsung dengan suamimu saja,”pinta sang ustadz.

“Dia tidak sanggup, Ustadz. Dia tidak sanggup dan tidak berani berbicara dengan Ustadz. Dia malu.”Tangis perempuan itu tak tertahankan lagi.
Perempuan itu memungkasi kisah pedihnya dengan pertanyaan, “Ustadz, apa yang harus kami lakukan?”

“Saya belum bisa menjawab,” jawab ustadz itu.

Selang beberapa hari kemudian, perempuan itu mendapatkan pesan elektronik dari ustadz yang beberapa hari lalu diteleponnya. “Status pernikahan kalian masih tetap, namun jika Anti mengajukan  khulu’ (gugat cerai), syariat membolehkannya.”

Saudaraku….,
Ini fakta. Dan betul-betul terjadi. Seorang ikhwah berbuat nista dan  melakukan perbuatan keji dengan teman facebooknya. Catatan ini  berdasarkan kisah yang dipaparkan oleh ustadz yang dicurhati istri ikhwah di atas, dan penulisan ini pun berdasarkan izinnya. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semuanya, betapa kita harus menjaga masing-masing diri kita. Ila aina nahnu, ila naarin au  ila jannatin, kemana langkah ini kita ayunkan…., ke neraka ataukah ke surga? Semua tergantung pada pilihan kita. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik agar kita mudah beramal shalih dan meninggalkan maksiat, hingga akhir hayat kita. Amin.

Himbauan kami, bila ada pesan moral yang tersampaikan dalam tulisan  ini, sangat dipersilahkan bagi para pembaca untuk menyebarluaskannya. Agar manfaatnya bisa dinikmati oleh teman-teman yang lainnya. Semoga  usaha kita dalam nasehat-menasehati dicatat oleh Allah sebagai kebaikan di sisi-Nya. [Oleh : Akhi Ibnu Abdul Bari el-‘Afifi]

Share this post

scroll to top