Apakah Cadar Itu Bid’ah atau Wajib?

cadar2Akhwatmuslimah.com – Polemik tentang hukum pemakaian cadar telah lama mengemuka. Bermula dari Kairo, ketika Pengadilan Mesir memutuskan mengukuhkan larangan universitas dan kampus-kampus yang melarang para mahasiswi mengenakan cadar ketika mengikuti pelajaran maupun ujian.

Dan yang paling hangat baru-baru ini adalah keputusan pemerintah Prancis yang melarang pemakaian cadar di depan publik. Tak ayal, aturan baru ini menuai protes dan menimbulkan kontroversi hingga kini.

Lalu bagaimanakah sebenarnya hukum cadar dalam Islam? Apakah bid’ah ataukah wajib? Berikut penjelasan dan fatwa Syekh Yusuf Qardhawi, Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional, yang kini bermukim di Qatar.

Menurut Qardhawi, mengidentifikasi cadar sebagai bid’ah yang datang dari luar serta sama sekali bukan berasal dari agama  dan  bukan  dari  Islam,  bahkan menyimpulkan  bahwa  cadar masuk ke kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah  ilmiah  dan tidak  tepat sasaran. “Identifikasi seperti ini hanyalah bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan  hanya menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya,” katanya.

Qardhawi mengatakan, satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun  yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya, persoalan apakah boleh membuka wajah  atau  wajib menutupnya—demikian pula dengan hukum kedua telapak tangan—adalah masalah yang masih diperselisihkan.

“Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan ahli fikih,  ahli tafsir, maupun ahli hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang,” ujarnya.

Sebab, lanjut Qardhawi, perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah ini dan sejauh mana pemahaman  mereka  terhadapnya, karena tidak didapatinya nash yang qath’i tsubut (jalan  periwayatannya) dandalalah (petunjuknya) mengenai masalah ini. “Seandainya ada  nash yang tegas (tidak samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.”

Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah: “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya…” (QS An-Nur: 31).



Menurut Qardhawi, mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” ialah pakaian dan jilbab,  yakni  pakaian luar yang tidak mungkin disembunyikan.

Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menafsirkan “apa yang biasa tampak”  itu dengan celak dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dan penafsiran yang  hampir sama lagi diriwayatkan dari Aisyah.  Selain  itu, kadang-kadang lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin terhadap pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.

Ada  pula  yang  menganggap  bahwa yang dimaksud dengan “perhiasan” di sini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata, “(Yang   dimaksud   ialah)  bagian  wajah  dan telapak tangan.” Dan penafsiran serupa juga  diriwayatkan  dari Sa’id bin Jubair, Atha’, dan lain-lain.

“Sebagian  ulama  lagi  menganggap  bahwa  sebagian dari lengan termasuk “apa yang biasa tampak” itu. Ibnu Athiyah  menafsirkannya dengan apa yang tampak secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau lainnya,” jelas Qardhawi.

Syekh Qardhawi mengatakan, para ulama juga berbeda pendapat dalam  menafsirkan  firman Allah: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan  istri-isti  orang  mukmin,  ‘Hendaklah mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian  itu  supaya  mereka  lebih  mudah  untuk dikenal, karena  itu  mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS Al-Ahzab: 59).

Maka apakah  yang dimaksud dengan “mengulurkan jilbab” dalam ayat tersebut?

Mereka meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  yang  merupakan kebalikan  dari  penafsirannya  terhadap  ayat pertama. Mereka meriwayatkan dari sebagian tabi’in—Ubaidah As-Salmani—bahwa ia menafsirkan “mengulurkan jilbab” itu dengan penafsiran  praktis  (dalam  bentuk peragaan), yaitu menutup muka dan kepala, dan membuka mata yang sebelah kiri. Demikian pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka’ab al-Qurazhi.

Namun, kata Qardhawi, penafsiran kedua tokoh ini ditentang oleh Ikrimah, mantan budak Ibnu Abbas. Dia  berkata, “Hendaklah ia (wanita) menutup lubang (pangkal) tenggorokannya  dengan  jilbabnya,  dengan  mengulurkan jilbab tersebut atasnya.”

Sa’id bin Jubair  berkata,  “Tidak  halal bagi wanita muslimah dilihat oleh lelaki asing kecuali ia mengenakan kain di atas kerudungnya,  dan ia  mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya.”

“Dalam hal  ini  saya  termasuk  orang  yang  menguatkan pendapat  yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita Muslimah menutupnya.  Karena  menurut saya, dalil-dalil pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang lain,” jelas Qardhawi.

Disamping itu, lanjut Qardhawi, banyak sekali ulama zaman sekarang yang sependapat dengan dirinya, misalnya Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar’atil Muslimah fil-Kitab was-Sunnah dan mayoritas ulama Al-Azhar di  Mesir, ulama Zaituna di Tunisia, Qarawiyyin di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.

Meskipun demikian, kata Qardhawi, dakwaan (klaim) adanya ijma’  ulama sekarang  terhadap pendapat  ini  juga tidaklah benar, karena  di  kalangan  ulama  Mesir  sendiri ada yang menentangnya. “Ulama-ulama  Saudi  dan  sejumlah  ulama  negara-negara Teluk menentang  pendapat  ini,  dan  sebagai  tokohnya adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz.”

Banyak  pula  ulama  Pakistan  dan India yang menentang pendapat ini,  mereka  berpendapat kaum wanita wajib menutup mukanya. Dan diantara ulama terkenal  yang berpendapat demikian ialah  ulama  besar dan dai terkenal, mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz Abul A’la Al-Maududi dalam kitabnya Al-Hijab.

Adapun diantara ulama masa kini yang masih  hidup  yang mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah penulis kenamaan dari Suriah, DR Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu’minu Billaahi (Kepada setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .

Disamping itu, kata Qardhawi, masih terus saja bermunculan risalah-risalah dan fatwa-fatwa dari  waktu ke waktu yang menganggap aib jika wanita membuka wajah. Mereka menyeru kaum wanita dengan  mengatasnamakan  agama  dan iman agar mereka  mengenakan  cadar, dan menganjurkan agar jangan  patuh  kepada  ulama-ulama  “modern”  yang ingin menyesuaikan  agama  dengan  peradaban  modern.

“Barangkali  mereka  memasukkan  saya  ke dalam  kelompok ulama seperti ini,” ujarnya. “Jika  dijumpai  diantara  wanita-wanita  Muslimah yang merasa mantap dengan  pendapat  ini,  dan  menganggap membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka bagaimana  kita  akan  mewajibkan  kepadanya  mengikuti pendapat  lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan dengan nash?”

Qardhawi menegaskan, “Kami hanya mengingkari mereka jika  mereka memasukkan pendapatnya kepada orang lain, dan menganggap dosa dan fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu, serta menganggapnya sebagai kemunkaran yang wajib diperangi, padahal para  ulama muhaqiq telah  sepakat mengenai  tidak  bolehnya  menganggap munkar terhadap masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.”

Bahkan, kata Qardhawi, seandainya wanita  muslimah tersebut tidak menganggap wajib menutup muka, tetapi ia hanya menganggapnya lebih wara’ dan lebih takwa demi membebaskan  diri  dari  perselisihan pendapat, dan dia mengamalkan yang lebih hati-hati,  maka  siapakah  yang akan  melarang  dia  mengamalkan  pendapat  yang  lebih hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas dia dicela  selama  tidak  mengganggu  orang lain, dan tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum  dan khusus?

Syekh Qardhawi mencela penulis terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin yang menulis masalah ini dengan  tidak  merujuk  kepada sumber-sumber  terpercaya, lebih-lebih  tulisannya  ini dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap putusan pengadilan khusus  yang bergengsi. Sementara kalau dia menulis masalah politik, dia menulisnya dengan  cermat, penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang menyeluruh.

Boleh jadi, kata Qardhawi, karena dia bersandar pada sebagian tulisan-tulisan ringan yang tergesa-gesa dan sembarang yang membuatnya terjatuh ke  dalam  kesalahan  sehingga dia menganggap “cadar” sebagai sesuatu yang munkar, dan dikiaskannya dengan  “pakaian  renang”  yang  sama-sama tidak memberi kebebasan pribadi.

”Tidak seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang mengharamkan memakai cadar  bagi  wanita  secara  umum, kecuali  hanya  pada  waktu ihram. Dalam hal ini mereka hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib, mustahab, dan jaiz,” jelas Syekh Qardhawi.

Sedangkan tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli fiqih yang berpendapat   demikian, bahkan yang memakruhkannya pun tidak ada. Maka Qardhawi mengaku sangat heran kepada Ustadz Bahauddin yang  mengecam  sebagian  ulama Al-Azhar  yang  mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai telah mengharamkan apa yang  dihalalkan  Allah,  atau sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan pengetahuan yang  mendalam  mengenai Al-Qur’an, As-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.

“Kalau hal itu hanya sekadar mubah, sebagaimana pendapat yang saya pilih, bukan wajib dan bukan pula mustahab, maka  merupakan hak bagi muslimah untuk membiasakannya, dan tidak boleh  bagi  seseorang  untuk melarangnya, karena ia   cuma melaksanakan hak pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau mengenakannya  itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan tidak membahayakan seseorang,” terang ulama lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini.

Qardhawi menyitir sebuah pepatah Mesir yang menyindir orang yang bersikap demikian, “Seseorang bertopang dagu, mengapa anda kesal terhadapnya?”

Hukum buatan manusia sendiri, lanjut dia, mengakui hak-hak perseorangan ini dan melindunginya. Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah yang komitmen pada agamanya dan hendak  memakai  cadar, sementara  diantara  mahasiswi-mahasiswi di perguruan tinggi itu ada yang  mengenakan  pakaian  mini,  tipis, membentuk  potongan  tubuhnya  yang  dapat  menimbulkan fitnah   (rangsangan), dan memakai bermacam-macam make-up,  tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai kebebasan pribadi.

“Padahal pakaian tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup bagian tubuh selain wajah dan kedua tangan itu diharamkan oleh syara’  demikian  menurut kesepakatan kaum Muslim,” ujarnya.

Syekh Qardhawi mengaku heran, mengapa wanita-wanita yang berpakaian tetapi  telanjang, yang berlenggak-lenggok dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang  menegurnya? Kemudian  mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan serta caci maki terhadap wanita-wanita bercadar, yang berkeyakinan bahwa hal itu termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?

“Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum dan sesudahnya. Tidak ada daya untuk menjauhi kemaksiatan dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan,” tandasnya.

Sumber : Republika

Share this post

scroll to top