Bagian Mana Dari Tubuh Calon Istri Yang Boleh Dipandang?

 

Ilustrasi. (Foto : nomor2.blogspot.com)

Ilustrasi. (Foto : nomor2.blogspot.com)

Akhwatmuslimah.com – Pada dasarnya sebelum terjadinya pernikahan, disunnahkan bagi masing-masing calon pengantin, baik calon suami atau calon istri, untuk sama-sama saling melihat bentuk fisik calon pasangan hidupnya.

1. Dalil Masyru’iyah

Meskipun wajah dan kedua tangan hingga pergelangan bukan termasuk aurat, namun yang lebih dianjurkan bagi laki-laki agar menahan atau membatasi pandangannya kepada wanita yang bukan mahramnya.

Dasanya adalah firman Allah SWT :

قُل لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ

Katakanlah kepada orang-orang yang beriman bahwa haruslah mereka menahan pandangannya.(QS. An-Nur : 30)

Namun dalam konteks seseorang ingin menikah, maka memandang yang seharusnya dihindari justru malah disyariatkan. Ada banyak dalil yang menjadi dasar masyru’iyah atas perlunya melihat calon istri atau calon suami. Di antara dalil-dalil itu misalnya :



عَنْ جَابِرٍ  قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah. (HR Ahmad dan Abu Daud)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ اَلنَّبِيَّ  قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً : أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ؟ قَالَ : لا . قَالَ : اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang hendak menikahi wanita,”Apakah kamu sudah pernah melihatnya?”. “Belum”, jawabnya. Nabi SAW bersabda,”Pergilah melihatnya dahulu”. (HR. Muslim)

Selain dua hadits di atas, juga ada beberapa hadits lainnya yang senada, seperti berikut ini :

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata,”Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.` (HR. Muslim)

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قَال :خَطَبْتُ امْرَأَةً فَقَال لِي رَسُول اللَّهِ  : أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ؟ قُلْتُ : لاَ . قَال : فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

Dari Mughirah bin Syu`bah radhiyallahuanhu berkata,”Aku meminang seorang wanita. Dan Rasulullah SAW bertanya padaku,”Apakah kamu sudah melihatnya?”. “Tidak”, jawabku. Beliau SAWbersabda,”Lihatlah dia Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua. (HR. Ibnu Majah)

Kemudian Mughirah pergi kepada kedua orang tua calon istrinya, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya.

2. Hukum Melihat Calon Istri & Suami

Meski semua ulama sepakat berpendapat bahwa melihat pasangan calon istri atau suami punya dasar masyru’iyah sebagaimana hadits-hadits di atas, namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian berpendapat bahwa hukumnya sunnah, namun sebagian lainnya berpendapat hukumnya boleh.

a. Jumhur Ulama : Sunnah

Jumhur ulama dari empat mazhab secara umum cenderung kepada pendapat yang menyunnahkannya. Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan sebagian ulama mazhab Al-Hanabilah sama-sama sepakat bahwa hukum melihat calon istri atau suami mandub atau sunnah.

Dasarnya adalah hadits Mughirah di atas, dimana Rasulullah SAW memerintahkannya untuk melihat calon istrinya terlebih dahulu.

فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

Dari Mughirah bin Syu`bah bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi SAW mengatakan kepadanya:`Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.` Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan ad-Darimi).

b. Mazhab Al-Hanabilah : Boleh

Sedangkan secara resmi mazhab Al-Hanabilah memandang bahwa kesimpulan dari hadits-hadits di atas bukan menunjukkan kesunnahan, melainkan hanya menunjukkan kebolehan saja.

Dasarnya karena perintah untuk melihat diberikan setelah adanya larangan, sehingga perintah itu bukan menjadi sunnah atau wajib, melainkan menjadi kebolehan. Seperti halnya perintah untuk mencari rejeki seusai shalat Jumat, walau pun shighatnya dalam bentuk fi’il amr yang seharusnya menjadi kewajiba, tetapi karena perintah itu datang setelah adanya larangan, maka hukumnya bukan wajib melainkan boleh.

3. Ketentuan Dalam Melihat

Meski melihat kepada calon suami atau istrinya disunnahkan atau setidaknya dibolehkan, namun bukan berarti segalanya menjadi boleh. Tentu saja tetap ada aturan dan ketentuan yang harus dipatuhi, antara lain :

a. Niat Ingin Menikahi

Hanya calon suami yang benar-benar berniat untuk menikahi calon istrinya saja yang dibolehkan untuk melihat. Sedangkan mereka yang cuma sekedar iseng-iseng atau coba-coba, sementara di dalam hati masih belum berniat untuk menikahi, tentu tidak dibenarkan untuk melihat.

Bahkan Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan bahwa orang yang melihat calon istrinya sudah punya keyakinan bahwa wanita itu sendiri pun akan menerimanya.

Sementara mazhab Al-Hanafiyah tidak mensyaratkan sampai sejauh itu, mereka hanya membatasi adanya keinginan untuk menikahinya saja, tidak harus ada timbal-balik antara keduanya.

b. Tidak Harus Seizin Wanita

Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada ketentuan bahwa wanita yang sedang dilihat oleh calon yang ingin menikahinya harus memberi izin.

Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Mughirah yang melihat calon istrinya tanpa sepengetahuannya.

Bahkan sebagian ulama berpandangan bahwa sebaiknya memang tidak diberitahu, agar benar-benar tampil alami di mata yang melihat, sehingga tidak perlu menutupi apa yang ingin ditutupi. Sebab kalau wanita itu mengetahui bahwa dirinya sedang dilihat, secara naluri dia akan berdandan sedemikian rupa untuk menutupi aib-aib yang mungkin ada pada dirinya. Maka dengan begitu, tujuan inti dari melihat malah tidak akan tercapai.

Namun mazhab Al-Malikiyah berpendapat kalau pun bukan izin dari wanita yang bersangkutan, setidaknya harus ada izin dari pihak walinya. Hal itu agar jangan sampai tiap orang merasa bebas memandang wanita mana saja dengan alasan ingin melamarnya.

c. Batas Yang Boleh Dilihat

Meskipun syariat Islam mengajurkan melihat calon pasangan masing-masing, namun tetap saja ada batasan mana yang boleh dilihat dan mana yang tidak boleh dilihat.

Jumhur ulama yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah sepakat bahwa wajah dan kedua tangan hingga pergelangan tangan termasuk bagian tubuh wanita yang boleh dilihat oleh calon suaminya. Sebab kedua bagian tubuh itu memang bukan termasuk aurat.

Bagian tubuh selain keduanya tentu merupakan aurat bagi wanita, sehingga walaupun dengan alasan anjuran melihat calon istri, tetap saja seorang calon suami masih diharamkan untuk melihatnya.

Sebab biar bagaimana pun juga, status calon suami 100% masih laki-laki ajnabi, yang kedudukan sama persis dengan laki-laki ajnabi manapun di dunia ini.

Namun ada riwayat dari mazhab Al-Hanafiyah yang menyebutkan bahwa kedua kaki hingga batas pergelangan atau mata kaki juga bukan termasuk aurat.

Dan para ulama di dalam mazhab Al-Hanabilah saling berbeda pendapat mengenai batasan ini. Sebagian berpendapat sebagaimana umumnya pendapat jumhur ulama, bahwa yang boleh dilihat hanya sebatas wajah dan kedua tanggan hingga pergelangannya. Namun sebagian lagi membolehkan lebih dari itu, yaitu termasuk wajah, leher, tangan dan kaki .

d. Tidak Boleh Menyentuh

Dan sebagaimana laki-laki ajnabi lainnya yang tidak diperbolehkan untuk menyentuh kulit wanita yang bukan mahram, maka calon suami pun juga tetap diharamkan melakukannya.

Jumhur ulama umumnya mengharamkan sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram, meskipun dalam rangka untuk menikahinya.

Dari Ma’qil bin Yasar, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya salah seorang diantara kalian jika ditusuk dengan jarum dari besi , itu lebih baik baginya daripada menyentuh seorang wanita yang bukan mahramnya”, (HR. Thabrani dan juga Baihaqi).

  • Madzhab Al-Hanafiyah

Penulis kitab Al-Hidayah berkata: “Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menyentuh wajah atau telapak tangan seorang wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat”

Penulis kitab Ad-Dur Mukhtar mengatakan: “Tidak diperbolehkan menyentuh wajah atau telapak tangan wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat”

  • Madzhab Al-Malikiyah

Imam Al-Baaji berkata dalam kitabnya Al-Muntaqa, Rasulullah SAW bersabda

“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita”.

Yakni tidak berjabat tangan langsung dengan tangannya. Dari hal tersebut, diketahui bahwasanya cara berbaiat dengan laki-laki adalah dengan berjabat tangan dengannya, namun hal ini terlarang jika membaiat wanita dengan berjabat tangan secara langsung.

  • Madzhab As-Syafi’i

Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Majmu’: “Sahabat kami berkata bahwa diharamkan untuk memandang dan menyentuh wanita, jika wanita tersebut telah dewasa.

Karena sesungguhnya seseorang dihalalkan untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia berniat untuk menikahinya atau dalam keadaan jual beli atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya. Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita walaupun dalam keadaan demikian.

Imam Nawawi pun berkata dalam Syarah Shahih Muslim: “Hal ini menunjukkan bahwa cara membaiat wanita adalah dengan perkataan, dan hal ini juga menunjukkan, mendengar ucapan atau suara wanita yang bukan mahram adalah diperbolehkan jika ada kebutuhan, karena suara bukanlah aurat. Dan tidak boleh menyentuh secara langsung wanita yang bukan mahram jika tidak termasuk hal yang darurat, semisal seorang dokter yang menyentuh pasiennya untuk memeriksa penyakit”.

  • Madzhab Hambali

Ibnu Muflih dalam Al-Furu’ mengatakan: “Diperbolehkan berjabat tangan antara wanita dengan wanita, laki-laki dengan laki-laki, laki-laki tua dengan wanita terhormat yang umurnya tidak muda lagi, karena jika masih muda diharamkan untuk menyentuhnya”. Hal ini disebutkan dalam kitab Al-Fusul dan Ar-Ri’ayah.

e. Tidak Boleh Berduaan

Meskipun dianjurkan untuk melihat calon istri, namun dalam prakteknya tidak boleh dilakukan hanya berduaan. Sebab berduaan dengan wanita yang masih belum halal menjadi istri adalah perbuatan yang diharamkan, sebagaimana hadis berikut ini :

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan, karena yang ketiganya adalah setan. (HR. At-Tirmizy)

f. Mengirim Utusan Untuk Melihat

Melihat bagian yang termasuk aurat dan menyentuh langsung memang diharam, lalu bagaimana memastikan bahwa tidak ada cacat atau hal-hal yang sekiranya kurang disukai? Apakah harus membeli kucing dalam karung?

Salah satu jalan keluarnya adalah lewat utusan atau perwakilan. Pihak suami mengutus wanita yang menjadi mahramnya kepada calon istrinya, untuk berkenalan dan melihat langsung kondisi fisik maupun non fisiknya.

Tentu karena sama-sama wanita, maka diperbolehkan melihat rambutnya, kulitnya, tubuh dan bagian-bagian lainnya.

Bahkan Rasulullah SAW sendiri juga melakukan hal yang sama. Disebutkan ketika akan menikahi salah seorang istrinya, beliau mengutus Ummu Sulaim dan memintanya untuk melihat dan menilai. Beliau SAW bersabda :

شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا

Ciumlah aroma mulutnya dan perhatikan ‘urqubnya. (HR. Ahmad)

Urqub oleh banyak diterjemahkan sebagai tulang lunak di atas tumit atau betis.

========

Ahmad Sarwat, Lc., MA

========

Sumber : Rumah Fiqih

Share this post

scroll to top