Mengapa Musibah Menimpaku?

Ilustrasi. (Foto : citydesert.wordpress.com)

Ilustrasi. (Foto : citydesert.wordpress.com)

Akhwatmuslimah.com – Saya masih ingat ketika guru saya Dr. Abdus Samie mengajarkan ayat ini, saya duduk dan menangis. Ayat ke-11 dari surat At Taghaabun, surat yang ke-64.

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [At Taghaabun: 11]

Allah berfirman, Tidak ada suatu musibah pun yang menimpamu. Musibah artinya bencana. Kata “Ashaaba” dalam bahasa Arab artinya “mentargetkan”. Allah mengajarkan sesuatu pada kita, dengan memilih kata ini.

Bahwa segala sesuatu yang terjadi padamu, sebenarnya memang sudah ditargetkan untukmu. Memang sudah secara khusus ditargetkan padamu. Dan kesulitan itu pun akan selalu tepat mengenai targetnya.

Musibah itu tak selalu berarti hal yang buruk. Tapi itu adalah sesuatu yang memang Allah inginkan terjadi padamu. Dan Allah ingin kamu mengetahui. Kata “Maa” di awal ayat ini, merupakan bentuk sangkalan. Jangan pernah kamu berpikir, tidak ada seorang pun kecuali Allah, yang memang menaruhmu pada hal yang kamu hadapi. Atas ijin Allah’lah terjadinya sesuatu yang terjadi padamu.

Kejadian baik atau buruk. Itu semua memang kehendak Allah sendiri. Jika kamu tidak senang karena kehendak Allah, yang biasanya kita sebut “Masya Allah”, apapun kehendak Allah. Saya senang dengan kehendak Allah, apapun kehendak Allah itu.

Apakah saya akan menderita atau akan merasa sangat bahagia karenanya. Saya senang dengan segala kehendak Allah. Itulah bentuk pengakuan yang sesungguhnya, bahwa saya hamba Allah dan Dia adalah Tuhanku.



Allah berfirman, “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah”. Barang siapa yang dapat menjaga keimanannya selama musibah tersebut, ini kondisi bersyarat. Kenapa bersyarat?

Karena ketika musibah menimpa, biasanya orang kehilangan keimanannya. Saat dimana orang mulai mempertanyakan Tuhan. Kamu mulai bertanya, kenapa Allah lakukan ini padaku? Jika Dia mencintaiku, jika Dia yang menciptakan dan merawatku. Maha Penyayang macam apa yang membuatku seperti ini?

Ketika itu terjadi. Maka kamu tidak lagi memiliki keimanan. Allah berkata, barang siapa yang mampu menjaga imannya ketika ditimpa musibah. Allah akan memberinya, ada suatu hadiah. Jika kamu punya yang satu ini, kamu tak butuh apapun lagi. Allah akan beri hadiah itu untuk orang ini. Allah akan membimbing hatinya. Tidak ada hal lain yang lebih berharga di dunia ini. Tidak ada yang lebih berharga daripada jaminan Allah untuk memberikan bimbingan pada seseorang.

Kita tidak tahu apakah kita mendapat bimbingan-Nya. Tapi Allah berkata, jika kamu mengalami kesulitan, kemudian kamu dapat menjaga keimananmu kepada Allah. Maka Allah akan memberikan iman yang sesungguhnya di dalam hatimu. Yang seperti ini tak bisa sekedar diucapkan oleh lidahmu.

Dia akan bimbing hatinya, perasaannya. Allah akan menjadi pembimbing apapun yang akan kamu lakukan. Allah tidak katakan “Yahdihii” (Dia akan membimbingnya). Tapi Allah katakan “Yahdi Qolbahu” (Dia akan bimbing hatinya). Setiap detaknya akan penuh dengan bimbingan. Setiap detaknya merupakan ingatan pada Allah.

Ini adalah hal yang menakjubkan. Segalanya ada di tangan dan bimbingan-Nya, ada di hati orang yang beriman. Di mana letak seseorang merasakan sakitnya musibah dan kesedihan? Di hatinya. Mereka merasakannya di hati. Dan Allah akan hilangkan itu dari hatinya.

Guru saya sering menceritakan sebuah cerita tentang seorang wanita ini. Pasangan yang sudah menikah ini baru memiliki seorang anak di usia mereka yang sudah tua. Dan di hari kelulusan anaknya dari SMA. Anak itu mengalami kecelakaan motor ketika dalam perjalanan pulang. Dan meninggal.

Anak umur 18 tahun, di daerah Pakistan. Masih muda dan ia meninggal. Anak ini adalah hidup mereka. Kesenangan dan kebanggaan mereka. Namun ia meninggal ketika ia wisuda. Ketika beritanya sampai anak itu sudah tiada.

Mereka merasakan depresi yang dalam. Kemudian si suami mendatangi istrinya beberapa minggu kemudian. Ia berkata, “Allah meminjamkan kita sebuah ‘mainan. Dia biarkan kita bermain dengan ‘mainan’ itu selama 18 tahun ini. ‘Mainan’ itu adalah milik Allah, bukan milik kita. Dia mengambil apa yang memang milik-Nya. Kita harus bersyukur karena bisa nikmat bermain selama 18 tahun ini. Kita tak boleh depresi seperti ini, kita harusnya bersyukur.’”

Inilah yang disebut menjaga iman ketika datang sebuah musibah. Seperti inilah menjaga keimanan. Karena ketika datang sebuah musibah, kamu akan mulai berpikir, “Allah berhutang sesuatu padaku”. Misalnya, “Saya harusnya mendapatkan kesehatanku, anak-anakku, istriku, kebahagianku, pekerjaanku.”

Allah tidak berhutang apapun padamu. Kamulah yang berhutang segalanya pada-Nya. Jari-jari ini bukan punya saya, wajah ini bukan punya saya, gigi-gigi ini pun bukan punya saya, saya bukan pemilik itu semua. Itu semua adalah milik Allah. Dia dapat ambil kalau Dia suka. Dan ketika Allah ambil itu, maka itu adalah sebuah pengingat bahwa itu memang bukan milik kita. Dia dapat ambil segala sesuatunya.

Dan ketika seseorang belum benar-benar yakin bahwa Allah’lah pemilik segala-galanya. Maka dia akan hilang keimanannya. Dan berkata, “Ini milik saya, kenapa Engkau ambil? Kenapa Allah mengambilnya?”

Jika keyakinan ini sudah masuk dalam hatimu. Jika ini sudah masuk dalam hatimu, maka kamu akan paham maksud ayat ini. Allah pemilik segala yang ada di langit dan bumi. Mudah diucapkan ‘kan? Mudah saja bilang, “Allah pemilik segala yang ada di langit dan bumi.”

Tapi maksudnya apa sih? Itu artinya kita tidak memiliki apapun. Saya bahkan tidak memiliki diri saya. Kamu tahu ‘kan apa yang biasa diucapkan jika diantara kita ada yang meninggal? Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, yang artinya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.

Jika segala yang ada pada diri saya saja adalah milik Allah, maka bagaimana mungkin hal lain itu menjadi milik saya? Inilah realisasi dari sebuah keimanan. Surat At Taghaabun ini adalah surat tentang buah keimanan. Apa saja sih yang seharusnya ada dalam diri seseorang ketika ia benar-benar memiliki iman dan keyakinan pada Allah. Tentang inilah isi surat itu. Dan ini adalah ayat kesukaan saya di surat ini.

Saya berdoa semoga Allah membimbing hati kita semua. Saya tutup dengan kesimpulan ayat ini. Allah sangat mengetahui segala yang terjadi. Allah tahu apa yang kamu hadapi. Ia bukan tidak tahu. Dia’lah yang menciptakan kondisi itu. Memang Dia’lah yang mengujimu dengan itu.

Semoga Allah memberikan kamu kekuatan untuk melaluinya dan semoga Allah memberimu kemampuan untuk menjaga dan memperkuat iman di tengah cobaan yang amat sangat sulit. Sehingga nantinya kamu akan mendapat hadiah yang tak dimiliki orang lain. Hadiahnya adalah bimbingan-Nya dalam hatimu. [Akhwatmuslimah.com]

Oleh : Nouman Ali Khan

Sumber : nakIndonesia

 

Share this post

scroll to top